27/04/09

KOALISI DAN NYAWA DEMOKRAT

Oleh: DONAL FARIZ

Pasca pemilu legislatif tanggal 9 April kemaren, paling tidak ada dua isu yang selalu hangat diperbincangkan menyangkut pemilu Presiden dan Wakil presiden yang akan dilaksanakan pada tanggal 6 juli mendatang. Isu pertama menyangkut koalisi dan yang kedua menyangkut bursa kandidat capres dan cawapres.

Terkait dengan koalisi, menurut Arend Lijphart, setidaknya terdapat empat teori koalisi yang bisa diterapkan di Indonesia. Pertama, minimal winning coalition dimana prinsip dasarnya adalah maksimalisasi kekuasaan. Dengan cara sebanyak mungkin memperoleh kursi di kabinet dan mengabaikan partai yang tidak perlu untuk diajak berkoalisi. Kedua, minimum size coalition, dimana partai dengan suara terbanyak akan mencari partai yang lebih kecil untuk sekadar mencapai suara mayoritas. Ketiga, bargaining proposition, yakni koalisi dengan jumlah partai paling sedikit untuk memudahkan proses negosiasi. Keempat, minimal range coalition, dimana dasar dari koalisi ini adalah kedekatan pada kecenderungan ideologis untuk memudahkan partai-partai dalam berkoalisi dan membentuk kabinet.Keempat teori koalisi tersebut sebenarnya tidak satupun yang dicoba untuk diterapkan oleh partai demokrat saat ini, sebagai partai penguasa sementara berdasarkan Quick count ataupun berdasarkan data dari pusat tabulasi KPU dengan jumlah suara mencapai 20.325%, partai demokrat tampaknya mencoba untuk memodifikasi format baru dengan menyuguhkan kontrak politik dalam melakukan koalisi bersama partai lain. Hal ini didasarkan atas pengalaman dalam melakukan koalisi selama lima tahun terakhir. Dengan dukungan koalisi lebih dari 70 % di parlemen ternyata Kabinet SBY-JK justru tidak stabil. Kontrak politik ini nantinya akan membentuk sebuah platform politik yang akan menjadi pegangan bagi pemerintah selama lima tahun mendatang.

Urgensi dari sebuah kontrak politik yang diwacanakan oleh SBY sendiri sudah tampak manfaatnya ketika PKS mengancam keluar dari koalisi untuk pemilu presiden yang akan datang. Ancaman PKS keluar dari koalisi muncul ketika JK kembali merapat ke SBY. Kondisi ini bisa kita bayangkan ketika pemerintahan berjalan dan muncul ancaman dari barisan koalisi yang sudah dibentuk. Tentu pada akhirnya pemerintahan berjalan dengan kehendak masing-masing.

Isu kedua menyangkut bursa kandidat capres dan cawapres pada pemilu mendatang. Hingga saat ini peta kekuatan untuk para kandidat yang akan maju masih belum jelas. Lobi-lobi yang dilakukan oleh elit partai menjelang pemilu presiden ini masih bersifat spekulatif. Pemetaan sederhana atas para kandidat masih seputar sosok SBY dan Megawati. SBY diusung kembali oleh demokrat sebagai capres, akan tetapi cawapres nya masih kabur. Namun akhir-akhir ini ada yang menarik dari gonjang-ganjing seputar calon pendamping SBY yakni munculnya nama Sri Mulyani. Mencuatnya nama Menteri Keuangan ini tentunya akan membuat PKS semakin meradang, karena PKS sendiri sebenarnya sangat mengincar kursi cawapres dalam barisan koalisi yang akan dibentuk.

Tidak jauh berbeda dengan SBY, sebagai salah satu kandidat tampaknya Megawati masih belum memiliki pasangan yang akan mendampinginya. Akan tetapi nama Ketua Dewan Pembina DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto dan Gubernur Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono juga masuk dalam mapping (pemetaan).

Tanpa mendahului proses pemilihan yang kan dilaksanakan 6 juli mendatang, besar kemungkinan SBY akan kembali mempertahan kursi RI 1 yang sudah dipeganganya selama 5 tahun terakhir. Hal ini didasarkan pada survey yang dilakukan oleh CSIS, LP3ES, LIPI dan FISIP UI terhadap elektabilitas para kandidat. Tingkat elektabiltas SBY per februari 2009 mencapai 46%, jauh meninggalkan pesaingnya. Bahkan Megawati sendiri mengalami penurunan dan berada pada posisi kedua dengan tingkat elektablitas hanya hanya pada kisaran 17%.

Koalisi untuk masa depan demokrat

Melejitnya dukungan terhadap partai Demokrat tidak bisa dilepaskan dari sosok SBY. Bahkan bisa dibilang SBY merupakan kartu as bagi Demokrat. Hal ini tentunya tidak sehat bagi demokrasi terlebih lagi bagi masa depan partai. Bergantungnya Demokrat pada satu sosok akan sangat membahayakan partai ini kedepannya. Bahaya tersebut sudah mengancam melalui aturan yuridis dalam pasal 7 UUD yang mengatur bahwa” Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat kembali dipilih untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan “ .Ini artinya jika SBY terpilih pada pemilu 2009 maka untuk pemilu 2014 Demokrat akan bermain akting tanpa aktor utamanya.

Ada beberapa skema yang bisa dipergunakan sejak dini untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya skema dalam menentukan pendamping SBY pada pemilu 2009. Konsekuensi pemilihan cawapres tidak hanya akan terkait dengan peluang untuk memenangkan pemilu presiden dan wakil presiden yang akan datang, akan tetapi akan berkorelasi lansung pada kekuatan demokrat untuk kedepannya. Apabila sosok pendamping SBY berasal dari partai lain, maka sama halnya dengan memelihara “ anak ular” dan membesarkan ketokohan kompetitornya sendiri. Solusi atas hal ini adalah memilih pasangan SBY dari lingkungan partai demokrat sendiri atau pasangan yang berasal dari poros tengah. Kalau tidak Demokrat harus siap gigit jari dan hanya merasakan kemenangan sesaat.

Penulis adalah anggota LAM&PK Fakultas Hukum Universitas Andalas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar