27/04/09

HAKIM SANG PUNGGAWA KEADILAN

Oleh: Refki Saputra

(Lembaga Advokasi Mahasiswa & Pengkajian Kemasyarakatan FHUA)



Pendahuluan


Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang terdiri dari kumpulan macam-macam perbeadaan, mulai dari perbedaan suku bangsa, agama, budaya, dan lain sebagainya. Disisi lain negara Indonesia adalah disebut sebagai suatu negara hukum (vide pasal 1 ayat (3) UUD RI 1945) yaitu negara yang berdasarkan hukum (rechtstaat) bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan (maachtstaat) yang telah dipertegas setelah amandemen ketiga. Artinya, Indonesia dalam setiap sendi kehidupannya harus berdasarkan hukum yang berlaku dan oleh setiap warga negarannya harus menjujungtinggi tegaknya supremasi hukum. Dalam suatu bingkai negara hukum, dimana hukumlah yang menjadi panglimannya, semua tindak tanduk warga negara, aparat penyelaenggara negara selalu dibatasi oleh hukum yang berlaku, bahkan tak terkecuali aparat penegak hukum sendiri yang harus mematuhi hukum yang berlaku karena dimata hukum semua orang sama tanpa ada perbedaan perlakuan (equality before the law).

Dalam perjalanan hukum di Indonesia sudah banyak melewati hambatan-hambatan yang membuat hukum tersebut tidak bisa berlaku secara optimal, melainkan hukum bisa dijadikan suatu alat legitimasi bagi perbuatan aparatur negara untuk menjalankan prilaku koruptifnya. Suatu momen yang sangat luar biasa, yakni reformasi tahun 1998 yang telah mendobrak pintu-pintu demokrasi yang selam ini terkunci oleh kekuasaan sentralistik yang menjanjikan suatu pemerintahan yang stabil dan berwibawa. Anehnya semua itu seakan diamini oleh kaum intelektual negeri ini, dan para juris (ahli hukum) pun tidak berdaya melawan tembok imperium orde baru. Hukum seakan-akan diperuntukkan untuk kalangan pemodal dan dimanfaatkan oleh pada elit negeri ini untuk mengamankan posisinya di pemerintahan. Dapat di gambarkan suasana hukum pada saat itu berupa sebuah ruang gelap yang kosong yang bisa diisi oleh apapun benda yang mau memasukinnya. Suasana seperti ini tak lepas dari prilaku pada penegak hukum sendiri yang tidak mengindahkan norma-norma etik yang sudah digariskan dalam suatu proses hukum.


Reformasi 1998 yang salah satunya mengagendakan penegakkan supremasi hukum di dalam masyarakat yang sudah berumur sepuluh tahun, menghasilkan tanggapan beragam dari masyarakat sendiri. Ada yang menjawab belum, lebih buruk, ada sedikit kemajuan, atau mungkin ada juga yang menilai sudah lebih baik. Masing-masing jawaban tersebut merupakan out put dari kinerja aparat penegak hukum yang langsung dirasakan oleh setiap anggota masyarakat dalam aktivitas sehari-hari yang berkaitan dengan hukum. Misalnya saat razia kendaraan, pembuatan SIM, pemeriksaan di Kepolisian, Kejaksaan, sidang pengadilan dan lain-lain. Artinya penilaian terhadap ada tidaknya reformasi hukum, salah satu indikatornya dapat dilihat dari penilaian setiap orang ketika ia terlibat aktivitas hukum yang tentunya melibatkan aparat penegak hukum. Apabila dalam aktivitas hukum tersebut justru keluar dari jalur hukum, seperti adanya suap menyuap, pungli, tebang pilih, atau KUHP yang dipelesetkan menjadi Kasih Uang Habis Perkara, dan lain-lain, maka tidak salah apabila penilaian negatif diberikan terhadap kinerja aparat penegakan hukum. Padahal yang melakukannya hanyalah oknum tertentu saja dari sekian banyak aparat penegak hukum, namun berakibat pada citra buruk aparat penegak hukum secara keseluruhan.

Hakim Sebagai Punggawa Keadilan

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Pernyataan tersebut merupakan pengertian kekuasaan kehakiman yang tercantum pula dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan, sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, adalah salah satu unsur penting dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum (rechtsstaat). Hanya pengadilan yang memenuhi kriteria mandiri (independen), netral (tidak berpihak), dan kompeten yang dapat menjamin pemenuhan hak asasi manusia. Oleh karena itu, posisi hakim sebagai aktor utama lembaga peradilan menjadi amat vital, terlebih lagi mengingat segala kewenangan yang dimilikinya. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Besarnya kewenangan dan tingginya tanggung jawab hakim ditunjukkan melalui putusan pengadilan yang selalu diucapkan dengan ikrar “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Hal ini menegaskan bahwa kewajiban menegakkan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan kepada sesama manusia, tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Menilik tugas dan wewenang dari seorang hakim yang sangatlah berat karena menyangkut suatu pencapaian keadilan yang sampai sekarang belum diketemukan definisinya yang dapat diterima oleh seluruh masyarakat, dapatlah dipastikan tidak sembarangan orang yang bisa menjadi seorang hakim yang kredibel. Keputusan hakim yang tidak adil bahkan dapat mengakibatkan penderitaan lahir dan batin yang dapat membekas dalam batin para yustiabel yang bersangkutan sepanjang perjalanan hidupnnya. Karena itu, tentunya sangat terkutuk apabila hakim dalam mengambil keputusan atas suatu konflik yang dihadapkan kepadanya berdasar pengaruh-pengaruh yang datang dari luar.[1] Seorang hakim harus menggali nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat, jika ia tidak menemukan sumber tertulis atas suatu hukum yang berkenaan dengan suatu permasalahan, atau dengan penegertian lai hakim harus mendengarkan suara rakyat yang unrepresented dan under-represented (yang diam, yang tidak terwakili, yang tidak terdengar). Maka dari itu seorang hakim haruslah seorang yan bijak yang bisa menyelami kondisi masyarakatnya, namun hakim sejatinya merupakan profesi yang sepi, karena ia tidak boleh terlalu banyak bergaul karena mencegah intervensi-intervensi dari luar dirinya ketika dia mengambil keputusan.

Sebuah deskripsi singkat yang didasarkan kepada data empiris, bahwa di dunia ini secara sosiologis ada dua macam hakim.[2] Pertama adalah mereka yang saat mengadili perkara, pertama-tama mendengarkan suara dan putusan hati nuraninnya, baru kemudian mencari aturan hukum untuk menjadi landasan putusan hati nuraninnya. Kemudian tipe kedua adalah hakim yang dalam memmeriksa mendengarkan “suara perutnya” lebih dulu lalu dicarikan pasal-pasal untuk membenarkannya. Jelas, tugas kita adalah mendorong dan memperbanyak hakim-hakim tipe pertama dan menggusur tipe kedua. Hal ini sesuai dengan adagium yang mengatakan hakim bukanlah corong undang-undang, tapi hakim merupakan corong keadilan (de la bouce de la loa, de la bouce de la justice).

Hakim Sebagai Aktor Utama Penyelenggara Kekuasaan Kehakiman


Profesi hakim yang tak obahnya seperti seorang yang dianggap dewa pemabawa keadilan, dimana orang yang sedang berkonflik mempercayakan hidupnya kepada seorang hakim untuk menentukan nasibnya menghendaki seorang hakim haruslah memiliki sosok yang dianggap hamper mendekati orang yang sempurna. Walaupun demikian semua tindak tanduk hakim jelas lah harus dibatasi dan diawasi karena kodrat sang hakim yang juga sebagai manusia biasa. Keberadaan kode etik dari profesi hakim memegang peranan sebagai rel yang mengarahkan seoirang hakim dalam berkelakuan baik dalam menjalankan tugas sehari-hari di pengadilan dan ketika dia berada di luar pengadilan.


Menurut Sumaryono terdapat tiga fungsi dari kode etik profesi, yaitu sebagai sarana kontrol sosial, sebagai pencegah campur tangan pihak lain, dan sebagai pencegah kesalahpahaman dan konflik.[3] Berdasarkan pengertian dan fungsinya tersebut, jelas bahwa kode etik profesi merupakan suatu pedoman untuk menjalankan profesi dalam rangka menjaga mutu moral dari profesi itu sendiri, sekaligus untuk menjaga kualitas dan independensi serta pandangan masyarakat terhadap profesi tersebut, termasuk juga terhadap profesi hukum. Jika dibawakan kepada profesi hakim jelaslah bahwasannya suatu kode etik sangatlah dibutuhkan bagi seorang hakim yang merupakan aktor utama dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang merdeka.

Hakim memiliki kedudukan dan peranan yang penting demi tegaknya negarahukum. Oleh karena itu, terdapat beberapa nilai yang dianut dan wajib dihormati oleh penyandang profesi hakim dalam menjalankan tugasnya. Nilai di sini diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, lahir maupun batin. Bagi manusia, nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak. Nilai-nilai itu adalah sebagai berikut:[4]


1. Profesi hakim adalah profesi yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya negarahukum Republik Indonesia. Di sini terkandung nilai kemerdekaan dankeadilan.

2. Selanjutnya, nilai keadilan juga tercermin dari kewajiban hakim untuk menyelenggarakan peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan, agar keadilan tersebut dapat dijangkau semua orang. Dalam mengadili, hakim juga tidak boleh membeda-bedakan orang dan wajib menghormati asas praduga tak bersalah. Kewajiban menegakkan keadilan ini tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesame manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa.

3. Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Apabila hakim melihat adanya kekosongan hukum karena tidak ada atau kurang jelasnya hukum yang mengatur suatu hal, maka ia wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Nilai ini dinamakan sebagai nilai keterbukaan.

4. Hakim wajib menjunjung tinggi kerja sama dan kewibawaan korps. Nilai kerja sama ini tampak dari persidangan yang berbentuk majelis, dengan sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim. Sebelum menjatuhkan putusannya, para hakim ini melakukan musyawarah secara tertutup.

5. Hakim harus senantiasa mempertanggungjawabkan segala sikap dan tindakannya. Secara vertikal berarti ia bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan pertanggungjawaban secara horizontal berarti ditujukan terhadap sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan yang lebih tinggi maupun kepada masyarakat luas. Berkaitan dengan pertanggungjawaban horizontal, Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa:

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.”

6. Hakim wajib menjunjung tinggi nilai obyektivitas. Hal ini tercermin dalam Pasal 29 ayat (3) yang menyatakan bahwa hakim wajib mengundurkan diri dalam pemeriksaan suatu perkara apabila ia mempunyai hubungan darah dengan pihak-pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan perkara tersebut, baik dengan terdakwa, jaksa, penasihat hukum, panitera, maupun sesama majelis hakim.


Penutup


Hakim yang memiliki tanggung jawab yang begitu berat dan juga begitu luas, karena ia dalam mengadili suatu perkara berdasarkan keyakinannya haruslah memperhatikan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang melandasi betapa pentingnya suatu kode etik kehormatan hakim, karena hakim merupakan profesi yang mulia (officium nobile) yang meletakkan sesuatu kepada yang semestinya, yang menegakkan hukum dan keadilan. Bangsa ini akan selalu membuthkan hakim-hakim yang jujur dan mempunyai hati nurani, karena tanap itu semua kehancuran bangsa ini bisa menjadi sebuah keniscayaan.


[1] Suhrawardin K. Lubis, 2002, Etika Profesi Hukum, Raja Gravindo, Jakarta, Hlm. 25.


[2] Satjipto Rahardjo, 2007, Membedah Hukum Progresif, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Hlm. 93.


[3] Sumaryono dalam Dwi Haryadi, Etika Profesi Hukum, diunduh dari www.google.com, 18 Maret 2009


[4] C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil dalam Rizki Argama, Tanggung jawab Profesi Hakim sebagai aktor utama Penyelenggara Kekuasaaan Kehakiman di indonesia , Makalah, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diunduh dari www.google.com, 18 Maret 2009, Hlm. 5.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar