22/04/09

"INKONSISTENSI UNDANG - UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945"



"INKONSISTENSI KONSTITUSI NEGARA REPUBLIK INDONESIA"
OLEH : HARRY KURNIAWAN

Krisis ketatanegaraan yang diawali dengan jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 memberikan kesempatan untuk melakukan perubahan secara mendasar terhadap Undang - Undang Dasar (UUD) 1945. Banyak anggapan bahwa salah satu penyebab krisis tersebut adalah ketidakmampuan UUD 1945 dalam mengantisipasi penyelewengan dalam bentuk ketatanegaraan.
Bahkan dalam waktu yang cukup panjang, UUD 1945 telah menjadi instrument politik yang ampuh bagi berkembangnya otoritarianisme dan menyuburkan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di sekitar kekuasaan presiden. Oleh karena itu, menyusul berakhirnya kekuasaan Soeharto, amandemen UUD 1945 (constitutional reform) menjadi sebuah keniscayaan.
Keharusan melakukan amandemen terhadap UUD 1945 tidak hanya karena terjadinya berbagai berbagai penyimpangan dalam praktek ketatanegaraan. Tetapi juga karena sejak awal UUD 1945 tidak dimaksudkan sebagai sebuah konstitusi yang bersifat tetap. Hal ini secara tegas dinyatakan oleh Soekarno sebagai berikut :
"Undang-undang Dasar yang dibuat sekarang adalah Undang-undang Dasar Sementara. Kalau boleh saya memakai perkataan, ini adalah Undang-undang Dasar kilat. Nanti kalau kita telah bernegara, di dalam suasana yang lebih tentram, kita akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dapat membuat Undang-undang Dasar yang lebih lengkap dan lebih sempurna"
Selain pernyataan itu, sifat sementara juga tampak dalam Ayat (2) Aturan Tambahan UUD 1945 yang menyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk menetapkan Undang-undang Dasar.
Sebenarnya, persoalan UUD 1945 bukan hanya pada sifat nya yang amat fleksibel untuk dapat diterjemahkan sesuai dengan perkembangan kondisi politik dan keinginan pemegang kekuasaan. Paling tidak ada tiga alasan yang dapat membuktikan ini.
Pertama, keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 yang mengubah kedudukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) menjadi lembaga legislatif yang sejajar dengan Presiden. Maklumat ini juga mengamanatkan pembentukan badan pekerja (BP) KNIP untuk melaksanakan tugas sehari-hari KNIP. BP KNIP inilah yang mengusulkan untuk mengubah sistem pemerintahan dari sistem Presidensiil menjadi sistem parlementer. Usul ini disetujui oleh pemerintah melaui Maklumat Pemerintah pada tanggal 14 November 1945. Pergantian sistem pemerintahan ini dilakukan dengan tidak melakukan perubahan terhadap UUD 1945.
Kedua, perdebatan yang tidak berkesudahan dalam konstituante telah memberikan peluang kepada Soekarno untuk melakukan penafsiran terhadap nilai - nilai demokrasi dalam UUD 1945. Dengan melihat pengalaman pada era demokrasi multipartai, Soekarno menafsirkan bahwa konsep demokrasi yang terdapat dalam UUd 1945 adalah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan, yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong-royong antara semua kekuatan nasional, ini disebut oleh Soekarno sebagai Demokrasi Terpimpin. Konsep demokrasi inilah yang kemudian mendorong soekarno menjadi pemimpin yang otoriter dengan dukungan Angkatan Darat(AD) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketiga, sama halnya dengan Soekarno, Soeharto sebagai penguasa yang menggantikan Soekarno juga mencoba melakukan penafsiran terhadap UUD 1945. Pemahaman inilah yang melahirkan Demokrasi Pancasila dengan jargon "melaksanakan pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen". Konsep ini juga melahirkan rezim otoriter dengan dukungan AD dan Golongan Karya.
Dari ketiga fakta sejarah tersebut, UUD 1945 dapat dikatakan sebagai "konstitusi karet" karena sangat fleksibel untuk ditarik ulur sesuai dengan keinginan penguasa. Bahkan, dua fakta terakhir melihatkan bahwa UUd 1945 telah melahirkan rezim otoriter. Di samping itu, kelenturan yang dimiliki oleh UUD 1945 telah menjadi penyebab terjadinya KKN, memasung semangat demokrasi dan penegakan Hukum, dan memberi peluang tumbuhnya pemerintahan yang otoriter, anti-kritik dan anti-perbedaan pendapat.
Tidak konsisten adalah salah satu kelemahan yang cukup elementer dalam UUD 1945. Hal ini telah menimbulkan dampak yang luas dalam proses penyelenggaraan negara di Indonesia. Inkonsitensi ini dapat dibuktikan sebagai berikut :
Pertama, sistem pemerintahan Indonesia dalam UUD 1945 adalah sistem Presidensiil ini dapat dibuktikan bahwa mentri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Tetapi dengan adanya ketentuan bahwa Presiden bertanggung jawab kepada MPR membuktikan bahwa model sistem Parlementer juga dianut oleh UUD 1945. MPR dapat menjatuhkan presiden dengan cara mengadakan sidang istimewa MPR. Apabila MPR menolak pertanggungjawaban, maka presiden akan diberhentikan oleh MPR. Pemberhentian ini akan mengakibatkan pembubaran kabinet.
Kedua, tidak konsisten dalam menentukan bentuk kedaulatan. Dalam UUD 1945 ada bentuk kedaulatan yaitu Kedaulatan Rakyat, Kedaulatan Hukum dan Kedaulatan Negara. Barangkali, kedaulatan rakyat dengan kedaulatan Hukum dapat saling melengkapi, akan tetapi kedaulatan negara menjadi tidak sejakan dengan kedaulatan rakyat dan kedaulatan Hukum. Dalam pelaksanaan pemerintahan, sistem kedaulatan negara akan dengan mudah menjelma menjadi sistem yang otoriter karena negara dijelmakan oleh individu - individu yang menjalankan roda pemerintahan.

Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kita terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, demi terciptanya pemerintahan yang di idamkan oleh kita semua.

Salam,




1 komentar:

  1. salam lam&pk ......
    tulisan ini saya harapkan dapat menambah pengetahuan kita tentang hukum tatanegara Indonesia.....
    kepada kwn2 lam&pk dimanapun berada untuk dapat mengakses tulisan ini .....
    terimakasiah......

    BalasHapus