03/04/09

INDONESIA TANPA PARLEMEN

oleh : Rudy Cahyadi

Seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia merupakan salah satu Negara didunia yang menganut Sistem Pembagian Kekuasaan sesuai dengan ajaran Trias Politika dari Montesquieu. Menurut teori ini, negara dijalankan oleh 3 (tiga) kekuasaan, yaitu :
•Kekuasaan Legislatif (Parlemen). Berfungsi sebagai pembuat undang-undang (legal drafter)
•Kekuasaan Eksekutif. Berfungsi menjalankan roda pemerintahan
•Kekuasaan Yudikatif. Berfungsi sebagai lembaga yang memegang kekuasaan untuk menegakkan hukum.
Namun, apabila kita lihat didalam kenyataannya, system trias politika ini sangatlah buruk bahkan cenderung membuat kacau praktek ketatanegaraan. Oleh karena itu pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai kekuasaan Legislatif (parlemen),dampak buruknya dan solusi yang ditawarkan untuk perubahan yang lebih baik.
Legislatif adalah sebuah lembaga yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari Partai Politik dan non-Partai Politik yang dipilih langsung oleh rakyat pada pesta demokrasi. Legislatif memiliki fungsi utama sebagai pembuat peraturan perundang-undangan. Namun dalam kenyataannya peraturan perundang-undangan yang dihasilkan pada umumnya banyak menemui kendala dalam proses penerapannya didalam masyarakat yang dilaksanakan oleh Eksekutif (pemerintah). Hal ini terjadi karena adanya pemisahan antara orang yang membuat peraturan (Legislatif) dan yang menjalankan peraturan (Eksekutif). Pemisahan ini menimbulkan kesenjangan antara aturang yang dibuat dengan realitas yang ada. Pelaksanaan dilapangan yang dijalankan oleh pihak eksekutif menghadapi banyak kendala, hal ini dikarenakan dalam kehidupan bernegara legislative adalah lembaga Negara yang sangat jarang berinteraksi dengan masyarakat, mereka hanya melihat suatu permasalahan dari jauh sehingga tidak mengetahui keinginan-keinginan masyarakat yang sesungguhnya.

Selain hal tersebut, demokrasi dengan sistem parlemen melakukan ritual pemilihan sekali dalam 4, 5 atau 6 tahun. Dalam kurun waktu yang demikian lama, para anggota parlemen telah menjelma menjadi kelompok tersendiri yang terpisah dari masyarakat. Sementara seperti yang kita ketahui bahwa kebutuhan dan pola piker masyarakat selalu berubah-ubah (dinamis). Sehingga para anggota parlemen tesebut tidak bias lagi mengakomodasi segala kepentingan & keinginan masyarakat lagi. Dengan semua hal tersebut seharusnya mereka sangatlah tidak pantas disebut lagi sebagai “wakil rakyat”. Konsekuensi dari semua keadaan tersebut adalah lahirnya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh legislatif yang sifatnya hanya menguntungkan golongan pemilik modal, dan jauh dari keinginan masyarakat yang mereka wakili. Pada akhirnya parlemen tak lebih dari sekedar “warung” tempat orang-orang “ngobrol”, yang diisi oleh para jago berbicara dan membual. Sehingga pantaslah kita menyebut anggota parlemen sebagai golongan yang tak berguna yang harus diongkosi negara dengan biaya tinggi.

Lalu seperti apa wujud Negara tanpa parlemen tersebut ?
Penjelasan sederhananya adalah, Negara dikelola oleh sebuah organisasi tunggal. Dalam tubuh organisasi itulah dibagi kewenangan sebagai pelaksana, pemeriksa atau pengawas dan sebagai badan peradilan. Untuk hal ini kita dapat membayangkan organisasi yang bersekala nasional seperti Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Bangunan negara tanpa parlemen dari tingkat terendah sampai tingkat nasional dapat dibayangkan seperti itu. Tidak ada pemisahan antara pembuat aturan dengan pelaksana aturan. Didalam sebuah organisasi pada umumnya ada semacam dewan pelaksana harian, dan ada semacam badan kehormatan atau komisi pemeriksa. Seperti itulah kewenangan dibagi, tapi tidak dalam badan atau lembaga yang terpisah.

Pasti timbul dalam pikiran kita semua, “bagaimana mengontrol semua itu agar tidak terjadi tirani kekuasaan ? ”. Nah, disinilah desain organisasi harus dimainkan. Caranya adalah dengan cara :
•Ritual pemilihan pejabat tak boleh dalam selang waktu yang terlalu lama. Hal ini kita lakukan agar kepercayaan rakyat yang diberikan tidak berubah menjadi kekuasaan, agar amanah tidak berubah menjadi serakah
•Pemilihan pejabat tersebut baik dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi harus dilaksanakan dalam selang waktu yang tidak terlalu lama.
Mengenai jangka waktu, mungkin waktu 2 (dua) tahun adalah waktu yang ideal untuk mengevaluasi kinerja para pejabat tersebut. Jika kerja mereka tidak memuaskan maka rakyat akan menjatuhkan mereka dalam kongres nasional tersebut.

Apabila anda berpikir bahwa bangunan kenegaraan seperti uraian diatas jauh dari demokratis itu sangatlah wajar. Sebab sudah sangat lama otak kita didoktrin oleh Trias Politika ala Montesquieu. Jika Negara tanpa parlemen tidak demokratis, dapat juga kita katakana bahwa Partai Politik, Organisasi Masyarakat, ASEAN bahkan PBB merupakan lembaga yang tidak demokratis. Hal tersebut dikarenakan organisasi-organisasi tersebut didalam strukturnya tidak memakai sistem Trias Politika. Jadi, untuk apa kita mempertahankan sesuatu yang buruk dan kacau, sementara masih ada sistem yang lebih baik. Buanglah ego dan mari kita berpikir secara dialektis untuk menciptakan suatu perubahan kearah Indonesia yang lebih baik.





*Merupakan sekelumit hasil diskusi terhadap buku “Filosofi Negara Menurut TAN MALAKA”, karya Hasan Hasbi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar