Asrul Azis.Sigalingging
Skandal joki narapidana lebih dari sekedar kolusi aparat penegak hukum.Resistensi sistem dan budaya “abaikan” hukum adalah factor yang melucuti moral dan integritas aparat selama ini.Joki narapidana lebih dari sekedar praktek kolusi penegak hukum.
Skandal Mafioso jilid baru,terkuaknya skandal ini seiring pula dengan temuan pelesiran gayus selama ini yang melenggang bebas bersafari ke sejumlah Negara(5/01/11).
Dua varian korupsi peradilan ini setidaknya mewakili predikat indeks persepsi korupsi yang tak berubah dari tahun ke tahun.Stagnasi predikat IP 2,8 cukup memilukan tentunya bagi bangsa yang sudah gembor dengan entitas rule of law serta slogan kepemimpinan bangsa yang anti korupsi.
Berlawanan memang,dua arus kebalikan yang cukup bersinggungan antara paradigma Negara dan realitas.
Skandal joki napi adalah bukti, bahwa seaktual apapun ekspetasi pemerintah mereformasi institusi penegak hukum toh hasilnya tetap rapuh dan labil.Tak ada komitmen pembenahan nyata, yang ada hanya sikap reaksional menyikapi persoalan persoalan taktis yang terkesan spontan saja.
Nihilnya inisiatif menandakan jika action plan tahunan penegak hukum hanya resistensi,ceeremoni tahunan yang tak habis habis jadi pledoi anggaran.Catatan kelam insititusi penegak hukum setidaknya menambah “prestasi” aparat yang kian menegaskan level terindah kebusukan peradilan ini.
Pertanyaan besarnya, bagaimana fenoma tersebut masih bisa dan terus terjadi? padahal setiap tahunnya selalu ada refleksi internal oleh masing institusi peradilan untuk menata institusinya?Bahkan hasil refleksi itu selalu dimuat dalam action plan tahunan, namun persoalan persoalan yang sama selalu muncul dan membelenggu peradilan kita.
Ada beberapa catatan krusial fenomena ketidakwajaran ini yang menumbuhkan arus ketidakpercayaan (distrust) masyarakat kepada aparat penegak hukum.Temuan temuan praktek korupsi aparat,pemerasan,suap menyuap adalah sebagian dari jumlah kolusi hukum yang hanya mendapat perhatian sempit dari penguasa.
Proses penegakan hukum telah direduksi kepentingan koruptif aparat di dalam struktur peradilan.Joki napi adalah hal sekian dari skandal mafia peradilan,fase ini sudah sejak lama ada.Safari gayus ke nusa dua bali sebelumnya sukses menyuap aparat Rutan.
Distrust
Dimata masyarakat kasus mafia peradilan merupakan ironi dalam reformasi hukum ,titik kulminasi yang paling ditakuti adalah sinisme masyarakat terhadap institusi penegak hukum yang bertendensi pada kualitas demokrasi bangsa.Klimaksnya, bangsa ini seakan mendarat ke syndhrome Negara gagal seperti yang disintesakan Chomsky (2002).
Hal ini bisa merupakan bentuk keputusasaan masyarakat melihat tingkat reformasi peradilan yang hanya sekedar menawarkan peforma dan reposisi figure.
Kondisi ini memperkaya ketakutan publik yang sedang menyaksikan sikap terbelah aparat penegak hukum dalam merestorasi institusinya.Pencopotan kejari bojonegoro setidaknya mencerimnkan sikap jaksa agung yang responsive,tapi pembenahan institusi tak selesai disekitar itu saja.Perlu pembenahan mendasar.
Publik sangat mengharapkan terobosan berani dan mendasar dari pihak pimpinan sejumlah institusi guna memberantas “malpraktek” hukum ini.
Internal
Setidaknya reputasi peradilan kita masih terjebak dinamika internal dan skandal hukum, akibat idiom mafia peradilan yang menggerogoti institusi peradilan.Elemen elemen sistem peradilan bekerja seakan mengalami ketersumbatan moral (lack of morality),mempotensikan aparat fungsional untuk mentraksaksikan kepentingannya pada perkaraa perkara yang ditangani secara institusional.Kondisi ini juga yang menimpa Jaksa Urip.
Kasuistik ,namun tahap demi tahap pembokaran skandal hukum seperti ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai kegagalan kekuasaan pelaksana peradilan yang alpa moral, penegakan hukum yang tak tertuju pada kebenaran dan keadilan subtantif.
Riset KP2KKN ditahun 2006 lalu bisa dirujuk untuk mencari persoalan serupa di peradilan daerah,dalam risetnya pola yang sama berkemungkinan juga terjadi.
Posisi Sumbar
Praktek kolusi yang sama bisa saja terjadi di institusi peradilan di sumatera barat,dan tak tertutup kemugkinan hal itu memang terjadi.Mungkin dalam varian yang berbeda atau setidaknya tak seradikal Joki Napi bojonegoro atau sebaliknya pula?
Koalisi masyarakat sipil sumatera barat (AMAK,2010) setidaknya dipenghujung tahun 2010 mencatat tidak ada angka korelatif yang cukup drastis penuntasan kasus korupsi di sumatera barat semenjak tahun 2008, tercatat 103 kasus korupsi dengan perkiraan total kerugian Negara tak main main mencapai angka Rp.125,796 milyar.Spekulasi bermunculan di tingkat bawah,dari nuansa kompromistik aparat sampai cap tak “bertajinya” pihak kejaksaan untuk menuntaskan skandal korupsi di daerah.
Wajar betul jika anggapan banyak pihak jika rell penuntasan kasus korupsi di sumbar tak seofensif daerah lain ,selalu sama, geser kiri geser kanan, maju mundur ibarat tari poco poco.
Tersandungnya moral aparat penegak hukum kita bukanlah isu yang kerap pudar begitu saja.Aspirasi tentang reformasi peradilan masih tertutup atau sekedar berjalan setengah makna,karena sikap illegal aparat hukum sendiri.Masyarakat mulai berpikir tentang otorisasi peradilan yang sudah terkooptasi praktek kesewena-wenangan (abuse of power),KKN, telah “mentradisi” hingga sullit untuk mengelak nuansa jika peradilan kita ditangan Mafia.
J.E.Sahetapy (2009), dalam memoarnya telah mengingatkan bangsa ini,jika badan badan hukum kita dioperasionalkan oleh oleh orang orang yang tak menghayati moral dan ethica, dan tak pula berjuang untuk kebenaran ,maka rakyat harus bersiap menerima ketidakadilan.Perbandingan Stallybraas (A Comparisson of General Principal of England) juga mengingatkan hal yang sama, bahwa semua ketentuan hukum yang baik sekalipun bergantung sepenuhnya pada aparatur pelaksananya. Tak ada keadilan dalam hukum,dan tak ada pula peradilan bersih jika peradilan telah diisi oleh tangan tangan busuk mafioso.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar