Di desa ku, anak anak pedalaman dari suku “asing” bermain di ruang yang sengaja diisiloasi oleh zaman.Keadaban mereka dipaksa mati karena dianggap artefak “primitive”.Mereka kelompok yang perlahan akan binasa,karena tipikal ras yang masih tabu akan anggapan sebagian orang.Bagiku ini kekejaman sosial dari keberagaman selama ini.Masa kecil anak asing yang harus merelakan nasib “demokrasinya” ditelan buaya keangkuhan kaum ortodoks.Orang yang menyandingkan kebodohan sebagai motif penilaian.
Populasi yang menyedihkan.Istiadat yang dikriminalkan.Orang orang pinggiran tepi zaman yang makin diasingkan.
Mereka rakyat pemilih di lima tahunan,tapi nasib mereka masih menggantung di lahan perkebunan yang berbalok hutan.Mereka tabu dengan ekspansi global,rumah rumah pedalaman mereka tak dialiri listrik.Mereka beternak unggas, hidup mereka jauh dari hiruk pikuk politik lokal yang digemari manusia manusia pembohong.Di lahan kebunnya kadang anak cucuk belajar dari kerasnya cara mengenal alam.
Sesekali tiba di pasar sabtu,komunitas pekerja kebun karet ini bersempat diri untuk sekedar berbelanja keperluan pokok di pasar mingguan.Berekerumunan menikamti “gaung” pasar.Tampilan mereka selalu asing bagi mata orang orang sombong.Mereka dicap “kolot”, asing dan kumuh.Padahal komunitas masyarakat ini juga pemeluk agama mayoritas yang mengajarkan kepedulian dan persamaan.Penulis merasa tidak berkebetulan berjumpa dengan ironi ini,dan kadang sesekali beranggapan jika mungkin letak nurani kita telah timpang karena diselipkan di dubur kotor.
Ketika di usia remaja,penulis bersahabat baik dengan siswa dari komunitas ini.Mereka memiliki prinsip kuat, kekompokan dan mereka berpendirian akan identitasnya.Kadang disekolah pun mereka masih diperlakukan asing oleh sebagian orang.Cara pandangan anak seusia kala itu mungkin masih dangkal tapi anehnya generasi tua pun banyak memberikan penilaian sama kepada mereka.
Keanehan yang menyulitkan transisi besar kita.Perubahan keadaban dibangun dalam keangkuhan dan tak manusiawi.Menilai minoritas sebagai “kutukan” yang memperkaya tindakan intimidasi generasi muda kita selama ini,stigma yang sudah tak biasa ditemukan di pentas demokrasi sejatinya.Bahkan mewariskan stigma ini ke anak cucu kita adalah kesalahan yang mampu merusak kebhinekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar