19/07/10

Urgensi Kebijakan Pendidikan

First San Hendra Rivai
Staf Divisi Edubang LAM&PK FHUA
Pendidikan seharusnya menjadi prioritas pengembangan anak bangsa di negeri ini. Pendidikan bermakna mencerdaskan, dengan pendidikan terwujudlah peningkatan kualitas sumber daya manusia yang telah menjadi cita-cita pendiri bangsa ( founding father) ketika berjuang melepaskan bangsa ini dari belenggu penjajahan. Kemulian jiwa pendiri bangsa ini kemudian dituangkan dalam naskah pembukaan undang-undang dasar 1945 alinea 4 yang berbunyi :
“ Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa….”
 Mengenai pendidikan sendiri diatur dalam Pasal 31 UUD 1945 mengenai pendidikan, berdasarkan hal tersebut tersirat makna bahwa pendidikan bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa serta pendidikan merupakan hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia. Selain dari pembukaan UUD 1945 dan batang tubuh UUD1945 pasal 31, pendidikan juga diatur dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional. Namun masih banyak payung hukum yang mengatur mengenai pendidikan di Indonesia.’
Cita-cita pendiri bangsa yang ingin  mencerdaskan kehidupan bangsa, tentunya merupakan amanah ”suci”  bagi pemerintah pemegang otoritas penuh di Negara ini untuk menjamin terlaksananya realisasi kontitusional hak warga negaranya berupa pendidikan. Namun dalam perjalanannya pendidikan di Indonesia mengalami berbagai permasalahan. Setidaknya transisi rezim dari fase orde baru ke reformasi berpengaruh besar dalam paradigma kebijakan penidikan bangsa. Krusialnya pendidikan serta merta dalam setiap kebijakan negara mestinya mengakomodir kesetaraan dan persamaan dalam pendidikan. Namun kritik berbagai kalangan bahwa kebanyakan ”warna” kebijakan pendidikan pemerintah condong hanya akomodatif pada kalangan kaya.
Pada prinsipnya pendidikan bukanlah suatu ukuran levelitas yang membedakan kelas masyarakat yang mampu secara ekonomi mengaksesnya, namun resiko kebijakan pendidikan yang demikian adalah ketimpangan, dimana lapisan masyarakat ekonomi lemah tak mampu mengaksesnya dan hal ini jelas bertentangan dengan konstitusi pasal 31.
Operasionalisasi pendidikan tidak hanya berakar dari bangku sekolahan sebagai aspek teknis, akan tetapi juga merambat ke gedung-gedung birokrat yang memiliki kekuasan serta ke gedung anggota dewan yang terhormat sebagai pemangku kebijakan pendidikan.
Buruknya, kondisi sekarang betapa memprihatinkan, baru melangkahkan kaki di sekolah, peserta didik dan orang tua harus dihadapkan pada pilihan, memilih sekolah yang biasa­-biasa saja atau memilih Sekolah Berstandarkan Internasiaonal (SBI). SBI ini disebut sebagai sekolah plus-plus, sekolah ”bilingual”  yang menambahkan kurikulum Inggris pada setiap mata pelajarannya. Kemudian SBI juga dilengkapi dengan labor-labor untuk menunjang proses belajar-mengajar serta fasilitas yang lengkap dan nyaman bagi peserta didik. SBI kemudian menuai permasalahan karena uang masuk dan uang sekolahnya yang relatif mahal. Besarnya biaya ditujukan untuk memenuhi sarana dan prasarana sekolah, artinya pendidikan yang bagus dan baik itu harus dibayar dengan mahal. Sederhananya bentuk kebijakan demikian beresiko besar pada pengabaian prinsip pemerataan dan keterjangkauan, pada tingkat ini untuk tingkatan SMP, SMA pun masyarakat ekonomi lemah akan semakin sullit untuk menjangkaunya.
         Kontraproduktif Kebijakan?
Tak hanya sampai disitu, persoalan mengemuka ketika peserta didik dihadapkan pada cobaan yang paling berat dan harus dihadapinya demi meraih jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mereka terlebih dahulu harus melewati tembok Ujian Nasional, yang akan menentukan apakah mereka bisa naik ke jenjang pendidikan berikutnya. Ujian Nasional pada mulanya hanya berfungsi sebagai pemetaan terhadap permasalahan pendidikan nasional, namun pada akhirnya bergeser menjadi tahap penentuan nasib peserta didik. Ujian Nasional yang serentak diadakan seluruh Indonesia dengan bobot soal yang sama di berbagai daerah, hal ini merupakan pelanggaran bagi peserta didik karena mutu setiap sekolah atau daerah tidak merata dan tidak sama, apalagi tidak semua sekolah memiliki sarana dan prasarana yang memadai. Selain itu, seharusnya evaluasi terhadap pembelajaran peserta didik dilakukan ketika proses pendidikan itu berlangsung, dengan pertimbangan aspek psikomotor, afektif dan kognitif peserta didik, namun Ujian Nasional sebaliknya tanpa mementingkan bagaimana proses yang dilakukan peserta didik, jika gagal maka gagal pula masa depannya dan sia-sia proses yang dilakukannya. Apakah ini yang disebut sebagai pemetaan terhadap permasalahan pendidikan ? atau sebaliknya malah menimbulkan permasalahan di dunia pendidikan. Padahal, Mahkamah Agung telah memvonis bahwa Ujian Nasional tidak boleh diadakan, akan tetapi Depdiknas masih bersikukuh untuk mengadakan Ujian Nasional, tindakan Depdiknas ini bisa dikategorikan sebagai countem of court ( penghinaan terhadap peradilan ) kepada Mahkamah Agung.
Belum habis cobaan, lepas dari belenggu Ujian Nasional peserta didik yang berasal dari tingkatan SMA/MA sederajat yang telah lulus seleksi masuk perguruan tinggi harus dihadapkan pada pertimbangan ekonomi, dimana ketika akan masuk perguruan tinggi harus membayar uang masuk yang terkadang tak terjangkau oleh kalangan rakyat miskin. Sebagai contoh akan hal ini, pada tanggal 25 dan 28 Mei 2010, puluhan mahasiswa USU (Universitas Sumatra Utara) melakukan demonstrasi menolak naiknya uang SPP (Sumbangan Pembangunan Pendidikan) sebesar 100 persen bagi mahasiswa baru angkatan 2010/2011 rogram S-1 maupun D-3, kenaikan SPP tersebut bagi mahasiswa eksakta sebesar   Rp 2 juta dari sebelumnya Rp 1 juta, sedangkan non eksakta naik menjadi Rp 1,5 juta dari sebelumnya Rp 750 ribu. Kejadian yang sama juga terjadi di UNAND (Universitas Andalas), mahasiswa yang menamakan dirinya Forum Peduli Pendidikan menggelar aksi di rektorat UNAND pada 26 Mei 2010, mereka menuntut dihapuskannya sumbangan bagi mahasiswa baru yang disebut sebagai Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), dana SPI ini berkisar Rp 1 juta sampai Rp 25 juta, karena hal itu sangat memberatkan bagi calon mahasiswa, yang menjadi pertanyaan bagaimana nasib calon-calon mahasiswa yang tak mampu membayar berbagai tuntutan biaya tersebut, ditengah morat-maritnya kehidupan seperti saat sekarang ini ?
    Menilik lebih jauh mengenai permasalahan pendidikan bangsa, beberapa saat lalu muncul sebuah produk legislasi (baca:UU BHP). Sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK  di awal rancangan undang undang ini banyak menuai kontroversi. Isu komersialisasi pendidikan mengemuka hebat di seputar undang undang jebolan komisi X yang dipimpin Irwan Prayitno pada masa itu.
Disemua tingakatan terasa jika kebijakan pendidikan pemerintah dari aspek legislasi bahkan aturan teknis sekalipun banyak bermasalah. Bagi penulis sendiri jika dilihat semua persoalan kebijakan pendidikan pemerintah pada dasarnya merupakan persoalan ”paradigma”, acuan dasar sebagaimana mestinya pengelolaan pendidikan di negara ini. Kontitusi pasal 31 ayat (1) misalnya jelas menegaskan hak pendidikan bagi setiap warga negara. Pengejawantahan pasal ini perlu dilihat pada azas yang mengharuskan persamaan hak bagi pemenuhan hak pendidikan, maka kebijakan pendidikan harus mencerminkan marwah pada pasal 31 tersebut. Demikin pula halnya pada konvensi internasional tentang hak ekosob (ekonomi,sosial,budaya)  ;prinsip non diskriminasi, aksebilitas serta keterjangkauan sebagai mana ditegaskan dalam konvensi tersebut harus dicerminkan pula dalam kebijakan pendidikan bangsa. Negara wajib menghormati hak tersebut sebagai ”consensus” mutlak yang mesti dilaksanakan.
Untuk itu kebijakan pendidikan mesti dilihat dalam persfektif konstitusi sebagai landasan kebijakan,agar kebijakan pendidikan tak lagi alpa ideologi.Ditingkat regulasi nilai-nilai falsafah bangsa harus dicerminkan,idealnya kebijakan pendidikan tersebut secara ekplisit maupun implisit harus tercerminkan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar