14/02/09

MENYOAL KONSTITUSIONALITAS UU BHP

Oleh Sudi Prayitno

PENDAHULUAN

Meskipun sudah disetujui DPR tanggal 17 Desember 2008 dan disahkan Presiden tanggal 16 Januari 2009 lalu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) masih memicu kontroversi dari berbagai kalangan. Di satu sisi, undang-undang ini dipandang dapat menjadi penaung spirit otonomi yang selama ini diinginkan oleh dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi. Namun di sisi lain, banyak pihak khawatir undang-undang ini justeru akan mendorong terjadinya praktek komersialisasi dan liberalisasi pendidikan tinggi. Pro dan kontra atas UU BHP yang sepertinya belum akan berakhir dalam waktu dekat tersebut, tentu harus dilihat sebagai sesuatu yang positif dan tidak justeru dilawan dengan tindakan atau sikap yang kurang bijak (misalnya dengan melakukan tindakan anarkhis atau menggunakan jurus masa bodoh pada protes sembari berucap “anjing menggonggong, kafilah berlalu”).

Tanpa bermaksud mencederai spirit otonomisasi dalam pengelolaan pendidikan formal yang terkandung dalam UU BHP dan menisbikan kekhawatiran akan timbulnya komersialisasi-liberatif di tubuh lembaga pendidikan khususnya pendidikan tinggi, tulisan ini mengajak semua pihak yang berkepentingan dengan persoalan ini untuk mencermati UU BHP dari perspektif yang lebih substantif dan asasi. Benarkah spirit otonomisasi dalam UU BHP ini dimaksudkan untuk mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUD 1945 (sebagaimana dinyatakan dalam konsideran menimbang huruf a) atau justeru mendelegitimasi (tidak mengakui) hak-hak konstitutional warga negara terutama kalangan tidak mampu (disadvantaged groups) dan terpinggirkan (marginalized groups) untuk mengenyam pendidikan yang dijamin dalam UUD 1945?.


PERSPEKTIF HAM DAN HAK-HAK KONSTITUSIONAL

Tak dapat dipungkiri, lahirnya UU BHP pada satu sisi menjadi dasar hukum (legal basic) untuk mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, dengan tidak melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Undang-undang ini memberi jalan bagi perguruan tinggi untuk berimprovisasi secara kreatif dalam mencari alternatif sumber pembiayaan dan meningkatkan kualitas program akademik dengan meningkatkan efisiensi/efektivitas manajemen. Namun di sisi lain, UU BHP berpotensi membuat perguruan tinggi menjadi sebuah badan usaha (corporate body) yang berorientasi pada proyek (project oriented) semata. Akibat perubahan paradigma ini, perguruan tinggi dikhawatirkan akan melupakan misi suci (sacred mission) yang harus diembannya yakni melahirkan insan-insan terdidik dan berkeahlian karena peran hakiki perguruan tinggi adalah sebagai the center of knowledge inquiries and technology innovations.

Sejatinya, keberadaan UU BHP tidak hanya semata-mata ditautkan dengan persoalan hukum formal (legal formal) sebagai implementasi dari Pasal 53 ayat (4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memerintahkan pembentukan undang-undang tentang badan hukum pendidikan, namun telah menyentuh isu yang sangat fundamental yaitu jaminan untuk mendapatkan pendidikan dan keadilan dalam mengakses layanan pendidikan. Kedua isu ini merupakan konsekuensi logis yang harus tercermin dalam pasal-pasal UU BHP mengingat UU No. 20 Tahun 2003 yang menjadi dasar kelahiran undang-undang ini menetapkan prinsip penyelenggaraan pendidikan yang menyatakan bahwa “pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa”. Jadi jelas, apa pun tujuan dan alasannya, pembentukan UU BHP harus bersandarkan pada nilai-nilai hak asasi manusia khususnya hak untuk diperlakukan secara adil dan hak atas pendidikan.

Secara formal, amanah Pasal 53 ayat (4) UU No. 20 Tahun 2003 untuk mengatur BHP dalam suatu undang-undang telah dilaksanakan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dengan membentuk UU BHP, sehingga sulit kiranya bagi para oppositionists mengharapkan institusi pembentuk undang-undang itu mau dengan senang hati meninjau dan merevisi UU BHP yang telah disetujui dan disahkan. Namun begitu, secara substansial masih perlu diuji apakah muatan-muatan pasal dalam UU BHP ini makin memperkuat dan menegaskan tanggung jawab negara dalam menegakkan hak-hak asasi warga negara khususnya yang kurang mampu secara ekonomi untuk memperoleh pendidikan dan mendapatkan perlindungan dari perlakuan diskriminasi dalam mengakses layanan pendidikan atau justeru sebaliknya. Yang jelas, sebagai pengejawantahan dari komitmen pemerintah terhadap hak asasi manusia yang tertuang dalam sejumlah peraturan perundang-undangan antara lain: UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), dan UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), maka spirit pemajuan, penghormatan, perlindungan, dan penegakan HAM yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan nasional yang ada, harus tercermin pula dalam UU BHP.

Secara konstitutisional, negara telah menegaskan sejumlah hak yang dimiliki setiap orang sebagai hak asasi manusia yang harus dilindungi, dimajukan, ditegakan, dan dipenuhi oleh negara, terutama pemerintah dalam UUD 1945 Amandemen Keempat. Terkait dengan persoalan pendidikan, setidaknya ada 2 (dua) hak asasi manusia dalam UUD 1945 yang memiliki relevansi dengan UU BHP yaitu hak atas pendidikan meliputi hak untuk mendapatkan pendidikan, hak memilih pendidikan dan pengajaran, hak atas pendidikan dasar gratis, dan hak untuk mendapatkan jaminan negara atas anggaran pendidikan dan hak untuk bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan hak untuk mendapatkan perlindungan dari perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Sekalipun UU BHP lebih pada isu pendidikan, namun tidak berarti hanya hak untuk mendapatkan pendidikan saja (termasuk dalam rumpun Economic, Social and Cultural Rights) yang terkait didalamnya, tapi juga hak untuk bebas dari diskriminasi (termasuk dalam rumpun Civil and Political Rights) sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat (2) huruf f yang menyatakan, “Pengelolaan pendidikan formal secara keseluruhan oleh badan hukum pendidikan didasarkan pada prinsip: akses yang berkeadilan, yaitu memberikan layanan pendidikan formal kepada calon peserta didik dan peserta didik, tanpa memandang latar belakang agama, ras, etnis, gender, status sosial, dan kemampuan ekonominya”. Oleh karena hak atas pendidikan dan hak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif merupakan hak konstitusional warga negara yang harus dijamin dan dilindungi oleh UU BHP, maka tidak satu pun pasal dalam UU BHP yang boleh melanggar atau bertentangan dengan UUD 1945.


PASAL-PASAL GAWAT

UU BHP memuat 14 bab dan 69 pasal yang mengatur beberapa hal pokok, yaitu tujuan dan prinsip, tata kelola, kekayaan, pendanaan, akuntabilitas dan pengawasan, sanksi administratif dan sanksi pidana. Salah satu bagian yang sangat sensitif dan selalu menjadi sumber pertentangan adalah Bab VI tentang Pendanaan. Dilihat secara sepintas, UU BHP ini menunjukkan keberpihakan negara kepada golongan kurang mampu dan memungkinkan perguruan tinggi tumbuh secara professional. Sebut saja misalnya Pasal 40 ayat (4) yang menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam penyediaan dana pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagaimana diketahui, Pasal 31 ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. APBD Kota Padang tahun 2009 agaknya dapat dijadikan contoh sebagai APBD yang telah mengacu pada Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, karena telah mengalokasikan Rp. 446,75 miliar dari Rp. 1,068 triliun total APBD untuk pendidikan (41,81%), Rp. 24,42 miliar dari anggaran untuk pendidikan tersebut dialokasikan untuk program wajib belajar 9 tahun.

Secara lebih spesifik UU BHP menjamin bahwa negara dan pemerintah daerah menanggung biaya pendidikan dasar bagi peserta didik (Pasal 41 ayat 1 dan Pasal 44 ayat 1), membolehkan perguruan tinggi menjalankan kegiatan usaha dengan mendirikan badan usaha untuk memenuhi pendanaan pendidikan (Pasal 43 ayat 1), dan diwajibkannya Badan Hukum Pendidikan untuk menjaring dan menerima warga Negara Indonesia yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru (Pasal 46 ayat 1).

Namun bila ditelaah lebih dalam, ada dua pasal gawat (crucial) dalam UU BHP karena bertentangan dengan UUD 1945 sehingga mengancam konstitusionalitas undang-undang tersebut, yaitu Pasal 41 jo Pasal 44 dan Pasal 46.

Pertama, Pasal 41 jo Pasal 44
Secara utuh Pasal 41 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung seluruh biaya pendidikan untuk BHPP dan BHPPD dalam menyelenggarakan pendidikan dasar untuk biaya operasional, biaya investasi, beasiswa, dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik, berdasarkan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”, sedangkan Pasal 44 ayat (1) berbunyi sebagai berikut: “Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP Penyelenggara, dalam menyelenggarakan program wajib belajar pendidikan dasar, untuk biaya operasional dan beasiswa, serta bantuan biaya investasi dan bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik sesuai dengan standar pelayanan minimal untuk mencapai Standar Nasional Pendidikan”
Pertanyaan mendasar yang tak bisa dijawab oleh kedua pasal ini adalah sejauh mana UU BHP dapat menjamin peserta didik yang mengikuti pendidikan dasar terbebas dari biaya-biaya atau pungutan-pungutan lain sekecil apa pun yang dikenakan pihak BHP, karena baik kedua pasal ini maupun pasal-pasal lain tidak memuat ketentuan larangan berikut sanksinya kepada BHP atau pihak mana pun yang memungut biaya-biaya tertentu kepada peserta didik.

Biaya pendidikan dasar gratis yang diatur dalam ketentuan ini dengan sendirinya tidak menjamin peserta didik akan terbebas dari biaya-biaya lain yang sangat mungkin diberlakukan oleh BHP mengingat ketentuan Pasal 43 membolehkan BHP menjalankan kegiatan usaha, yang pada akhirnya peserta didik tidak dapat mengenyam pendidikan dasar secara gratis padahal negara berkewajiban untuk menanggungnya. Dengan lain perkataan, UU BHP telah dengan sengaja memberikan peluang terjadinya pelanggaran atas hak untuk mendapatkan pendidikan dasar gratis yang dijamin dalam Pasal 31 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Kedua, Pasal 46 ayat (1) dan (2)
Pasal ini berbunyi sebagai berikut: “(1) Badan hukum pendidikan wajib menjaring dan
menerima Warga Negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah keseluruhan peserta didik yang baru. (2) Badan hukum pendidikan wajib mengalokasikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi dan/atau peserta didik yang memiliki potensi akademik tinggi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah seluruh peserta didik”.

Penetapan quota minimal 20% jumlah peserta didik WNI yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu dari jumlah keseluruhan peserta didik baru dalam Pasal 46 ayat (1) ini, disamping membelenggu BHP untuk tetap menjaring dan menerima WNI paling sedikit 20% sekalipun jumlah WNI yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu mungkin lebih atau tidak mencapai 20%, juga berpotensi menimbulkan pelanggaran UU oleh BHP apabila tidak berhasil memenuhi quota tersebut. Anak kalimat “memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu” membatasi hak WNI yang kurang mampu secara ekonomi tapi tidak memiliki potensi akademik tinggi untuk diterima di BHP, karena rumusan ayat dengan anak kalimat tersebut secara tegas menetapkan 2 (dua) syarat sekaligus (kumulatif) untuk dapat dijaring dan diterima di BHP yaitu berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu secara ekonomi.

Rumusan pasal ini disamping kontradiktif dengan prinsip “akses yang berkeadilan” yang diatur dalam Pasal 4 ayat (2) UU BHP, juga melanggar Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”, karena hanya memberi kesempatan kepada calon peserta didik yang kurang mampu dan memiliki potensi akademik tinggi untuk dijaring dan diterima sebagai peserta didik tapi tidak bagi calon peserta didik yang kurang mampu tapi tidak memiliki potensi akademik tinggi. Lebih jauh, pasal ini juga melabrak Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, karena membatasi hak setiap WNI khususnya yang kurang mampu tapi tidak memiliki potensi akademik untuk mendapatkan pendidikan

Untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadao UUD 1945, seharusnya Pasal 46 ayat (1) ini diubah dengan kalimat yang lebih sederhana sehingga berbunyi, “Badan Hukum Pendidikan wajib menjaring dan menerima Warga Negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi”

Sedangkan Pasal 46 ayat (2) justeru hanya bersifat “akal-akalan”, seolah-olah melindungi kepentingan peserta didik tapi sesungguhnya tidak. Ketentuan ini hanya mewajibkan BHP “mengalokasikan” beasiswa atau bantuan biaya pendidikan, tapi tidak mewajibkan BHP untuk “memberikan/membayarkan” beasiswa atau bantuan biaya pendidikan tersebut kepada peserta didik, sehingga BHP tidak dapat dipersalahkan bila tidak memberikan beasiswa atau bantuan biaya pendidikan kepada peserta didik yang kurang mampu karena beasiswa dan bantuan biaya pendidikan cukup dialokasikan saja tapi tidak harus diberikan/dibayarkan. Ketentuan ini jelas menghambat peserta didik kurang mampu untuk tetap melaksanakan studinya, karena sewaktu-waktu bisa saja harus berhenti akibat keterbatasan biaya.

Disamping tidak jelas kepada siapa beasiswa dan bantuan biaya pendidikan harus dialokasikan, juga membuka peluang kepada peserta didik yang tergolong mampu secara ekonomi untuk mendapatkan beasiswa padahal beasiswa atau bantuan biaya pendidikan seharusnya hanya diperuntukan bagi peserta didik yang kurang mampu (berpotensi akademik atau tidak). Begitu pula dengan penetapan quota minimal 20% jumlah peserta didik WNI yang berpotensi akademik tinggi dan kurang mampu dari jumlah seluruh peserta didik, mengesankan seolah-olah quota 20% merupakan representasi dari jumlah peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi, padahal bisa jadi lebih besar atau sebaliknya. Lagi-lagi, ketentuan ini telah melanggar Pasal 31 ayat (1) UUD 1945 karena peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi akan terancam putus sekolah (drop-out) akibat tidak mendapatkan beasiswa dan/atau bantuan biaya pendidikan, padahal mereka berhak untuk mendapatkan pendidikan.

Untuk menghindari terjadinya pelanggaran terhadap UUD 1945, seharusnya Pasal 46 ayat (2) ini diubah sehingga berbunyi, “Badan Hukum Pendidikan wajib memberikan beasiswa bagi peserta didik warga negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi yang memiliki potensi akademik tinggi atau bantuan biaya pendidikan bagi peserta didik warga negara Indonesia yang kurang mampu secara ekonomi .”


PENUTUP

UU BHP akan tetap mengundang kontroversi dan gelombang penolakan, apabila sisi-sisi negatif yang terdapat di dalam beberapa pasal khususnya yang melanggar Konstitusi tidak segera direvisi, karena pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik haruslah berdasarkan pada asas “dapat dilaksanakan”, “kedayagunaan dan kehasilgunaan”, dan “kejelasan rumusan” dengan materi-materi pasal yang sesuai dengan asas “pengayoman” dan “kemanusiaan”.

Adanya kesadaran khususnya dari pemerintah bahwa UU BHP ini memiliki sisi lemah yang dapat berubah menjadi pisau bermata dua, mestinya dijadikan pertimbangan untuk melakukan legislative review terhadap undang-undang tersebut, tidak justeru menantang kalangan oppositionist untuk mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Agaknya jauh lebih bijaksana bila pemerintah menempuh langkah-langkah antisipatif terhadap UU BHP, ketimbang harus menghadapi gugatan judicial review yang pada akhirnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 (in-constitutional) oleh Mahkamah Konstitusi!.

Terima kasih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar