19/01/09

KEKOSONGAN HUKUM SENGKETA ADMINISTRASI PEMILU

Oleh. Veri Junaidi

Keberadaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 8 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah telah menghilangkan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk memeriksa dan mengadili sengketa administrasi Pemilu. Sengketa dimaksud terkait dengan mekanisme koreksi atas setiap keputusan KPU tentang penyelenggaraan pemilu/ pemilukada. SEMA 8/2005 telah memperluas pengertian tentang hasil pemilu sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf g UU 9/2004 tentang PTUN. Ketentuan pasal ini menyebutkan bahwa Keputusan KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/ Kota terkait dengan hasil pemilu bukanlah merupakan objek sengketa TUN.

Akibatnya SEMA tersebut telah menendang keluar kewenangan PTUN untuk mengadili sengketa administrasi pemilu. Sebab menurut SEMA 8/2005 yang dimaksud dengan keputusan KPU tentang sengketa hasil pemilu adalah semua produk hukum KPU terkait penyelenggaraan pemilu. Artinya, keputusan KPU dianggap sebagai produk politik yang tidak dapat diuji melalui mekanisme administrasi.


Jika demikian, kemanakah peserta pemilu harus mencari keadilan jika mereka merasa dirugikan atas lahirnya keputusan KPU? Pada dasarnya setiap kebijakan berpotensi memunculkan permasalahan. Karena tidak selamanya keputusan pejabat publik sesuai dengan kehendak seseorang yang terkena dampak dari kebijakan itu. Apalagi dalam konteks Pemilu 2009 memberikan peluang besar munculnya sengketa administrasi pemilu. Ketentuan perundang-undangan dalam pemilu, baik UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif maupun UU 22/ 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tidak menegaskan bahwa keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Berbeda dengan UU 12/2003 sebagai dasar penyelenggaraan Pemilu 2004, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Sehingga jelas bahwa keputusan KPU tidak dapat digugat dan tertutup kemungkinan adanya sengketa administrasi pemilu.

Atas kelemahan itu, Pemilu 2009 harus mempunyai mekanisme yang adil untuk menjamin hak peserta pemilu yang dirugikan kepentingannya akibat keputusan itu. Namun celakanya, beberapa ketentuan tentang pemilu dalam UU 10/2008 tentang Pemilu Legislatif maupun UU 22/ 2007 tentang Penyelenggara Pemilu tidak mengatur tentang mekanisme komplain atas keputusan KPU.

Satu-satunya jalan adalah membuka kembali kran penanganan sengketa administrasi pemilu. MA harus segera mencabut SEMA 8/2005 dan menegaskan kembali kewenangan PTUN dalam menangani sengketa administrasi pemilu. Karena, sepertinya MA telah salah tafsir atas pengertian perselisihan hasil pemilihan umum sebagaimana dimaksud Pasal 2 huruf g UU PTUN.

Ketentuan tersebut di atas menyebutkan bahwa Keputusan KPU tentang hasil pemilu tidak dapat diuji di PTUN, karena kewenangan atas pengujian itu berada pada MK. Argumen ini akan semakin kuat dengan membacanya dalam satu nafas dengan waktu pengesahan kedua UU, baik tentang MK maupun PTUN. UU MK disahkan lebih dulu pada bulan Agustus 2003, sedangkan UU PTUN setahun setelahnya, 29 Maret 2004. Oleh karena itu, ketentuan Pasal 2 huruf g UU PTUN telah menyesuaikan dengan kewenangan yang dimiliki MK.

Akibat kekosongan hukum ini, maka akan memunculkan berbagai masalah. Pertama, tidak adanya kepastian hukum atas sengketa administrasi pemilu. Para pihak yang merasa dirugikan atas keputusan KPU kecuali tentang hasil, akan menempuh mekanisme yang berbeda-beda. Seperti empat partai politik yang tak lolos electoral threshold yaitu Partai Buruh, Partai Sarikat Islam (PSI), Partai Merdeka, dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PNUI). Kemudian menyusul Partai Republiku mengajukan gugatan melalui PTUN. Namun untuk Partai Republiku MA menyatakan PTUN tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya, sehingga harus mengajukannya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mekanisme yang berbeda ini berpotensi memunculkan ketimpangan keadilan dan disparitas putusan.

Kedua, terabaikannya ketidakpuasan peserta pemilu atas keputusan KPU. Sebab UU Pemilu tidak mengenal mekanisme sengketa administrasi pemilu. UU 10/2008 hanya mengenal adanya pelanggaran pidana pemilu, pelanggaran administrasi pemilu dan sengketa hasil pemilu. Pelanggaran administrasi dimaksud adalah pelanggaran atas ketentuan syarat-syarat administrasi pemilu dan bukan mekanisme komplain atas keputusan KPU dalam pengertian pejabat TUN. Oleh karena itu, sengketa itu bukan merupakan tugas dan wewenang KPU untuk menyelesaikannya.

Jika KPU tetap memaksakan diri untuk menyelesaikan sengketa itu, maka keadilan atasnya akan sulit tercapai. Selain karena bukan menjadi kewenangannya, juga yang menjadi objek sengketa adalah keputusan KPU. Objektifitas mekanisme ini akan sulit tercapai. Bahkan mekanisme demikian dapat menyebabkan terbengkalainya proses penyelesaian.

Dampak lebih luas dan krusial dari kekosongan mekanisme ini ditunjukkan dalam Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan. Melalui Putusan No. 57/PHPU.D-VI/2008, MK menyatakan batal demi hukum (void ab initio) Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan untuk periode 2008-2013. Akibatnya MK memerintahkan KPU Kabupaten Bengkulu Selatan untuk menyelenggarakan pemungutan suara ulang yang diikuti seluruh pasangan calon kepada daerah dan wakilnya, kecuali pasangan calon nomor urut 7 (H Dirwan Mahmud dan H. Hartawan, SH).

Konklusi point 4.2 putusan MK menyebutkan bahwa bupati terpilih, H. Dirwan Mahmud terbukti sejak awal tidak memenuhi syarat sebagaimana dimaksud Pasal 58 huruf f UU 32/2004 tentang Pemda. H. Dirwan Mahmud sebagai calon bupati terbukti pernah menjalani hukuman karena delik pembunuhan yang diancam dengan hukuman lebih dari 5 tahun.

Pada dasarnya permasalahan ini merupakan objek sengketa administrasi pemilu. Karena atas keputusan KPU yang meloloskan H. Dirwan sebagai salah satu calon dapat merugikan kepentingan calon yang lain. Tidak seharusnya masalah syarat administrasi menjadi kewenangan MK untuk memutusnya. Akibatnya, pembangunan demokrasi yang demikian menimbulkan biaya sosial, politik dan finansial yang terlalu mahal. Asas efektif dan efisien dalam penyelenggaraan pemilu akan hanya menjadi retorika belaka!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar