Oleh: R Herlambang Perdana
Benarkah, kurangnya pemahaman akan hakikat dan pembatasan HAM merupakan salah satu penyebab tindakan anarki?
Pertanyaan ini untuk menanggapi tulisan "HAM dan Pembatasannya" (Kompas, 27/8).
Agaknya, ada sejumlah argumentasi hukum yang kurang tepat dalam artikel itu.
Pertama, pemahaman pembatasan HAM tidak berdiri sendiri dan berlaku kekal tanpa perlindungan dan pemenuhan HAM sendiri oleh negara. Artinya, HAM tak boleh dikurangi karena melekat dalam diri manusia, bukan berdasarkan pemberian. Maka, negara harus melindungi dan memenuhi HAM melalui perangkat normatif, seperti ditegaskan Pasal 28I Ayat (5) UUD 1945.
Kedua, artikel itu tidak membedakan batasan antara pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM. Tarian cakalele sambil mengibarkan bendera RMS di Ambon atau pengibaran bendera Bintang Kejora di Jayapura tidak tepat dinilai melanggar HAM. Ia lebih tepat disebut melanggar hukum NKRI, terutama UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pelanggaran hukum tidak serta-merta melanggar HAM. Definisi pelanggaran HAM Pasal 1 Angka 6 UU No 39/1999 adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin undang-undang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
Derogasi HAM
Derogasi atau pembatasan HAM adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM. Memang, dalam kamus hukum HAM dikenal dua jenis hak, yakni HAM yang bisa dikurangi (derogable rights) dan yang sama sekali tidak bisa dikurangi (non-derogable rights). Hak-hak yang sama sekali tidak bisa dikurangi tegas dinyatakan dalam Pasal 4 Ayat (2) UU No 12/2005 tentang Hak Sipil dan Politik, yang merupakan ketentuan ratifikasi International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966.
Hak-hak yang tidak bisa dikurangi meliputi hak yang diatur pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18, yakni hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk bebas dari perbudakan dan perdagangan budak, hak untuk tidak dipenjara hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban yang muncul dari perjanjian, hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut, persamaan di muka hukum, dan berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan, dan beragama. Di luar ketujuh pasal itu, dengan argumentasi hukum a contrario, bisa dikurangi.
Meski demikian, pembatasan HAM harus ditempatkan dalam rangka implementasi konsep tanggung jawab negara yang melekat dalam derogasi HAM. Dan negara harus memenuhi situasi dan persyaratan hukum khusus dan tidak mudah sebelum melakukan derogasi itu, seperti standar Pasal 4 Ayat (1) dan (3) UU No 12/2005. Pertama, derogasi hanya bisa dilakukan bila dalam keadaan darurat mengancam kehidupan bangsa dan keberadaannya. Kedua, Kepala Negara secara resmi harus mengumumkan kepada publik tentang keadaan bahaya. Dalam konsep hukum pernyataan bahaya.
Ketiga, langkah-langkah derogasi itu tidak bertentangan dengan kewajiban lain berdasarkan hukum internasional dan tidak mengandung diskriminasi hanya berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial. Keempat, Kepala Negara harus segera memberi tahu kepada negara-negara pihak lainnya (yang telah meratifikasi ICCPR) melalui perantaraan Sekretaris Jenderal PBB tentang aneka ketentuan yang dikurangi dan tentang alasan-alasan pemberlakuannya, serta pemberitahuan tentang saat berakhirnya derogasi itu.
Kita tidak boleh lupa konteks sejarah pemberlakuan keadaan bahaya yang pernah terjadi pada masa lalu, terutama pelaksanaan UU No 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya yang telah memperlihatkan praktik penyalahgunaan kekuasaan yang merepresi kebebasan berkumpul dan berpendapat. Karena itu, pada awal pembahasan RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya (PKB) telah muncul gejolak penolakan.
Alasannya sederhana, dalam perspektif HAM, pemberlakuan status keadaan bahaya telah berpotensi melanggar sejumlah kebebasan dasar dan hak oposisi politik. Praktik di negara tetangga dengan Internal Security Act (ISA) memberi pelajaran itu. Dengan konteks demikian, derogasi HAM tidak layak ditempatkan atas dasar ruang-ruang kultural tertentu, apalagi sesaat, yang kerap menunjukkan hipokrisi atas kekerasan politik dan pelanggaran hak sosial ekonomi atas warganya. Tidaklah mengherankan bila anarkisme atau upaya extra-legal lain lazim terjadi dan dilakukan masyarakat bukan karena mereka tidak memahami derogasi HAM, tetapi dalam rangka melawan hukum yang direproduksi untuk kepentingan penguasa, termasuk kesewenangan derogasi.
* R Herlambang Perdana Dosen Hukum Tata Negara dan HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Kompas, 18 Oktober 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar