18/12/08

Aspek Yuridis Pemeriksaan Pejabat Negara

Oleh: Fulthoni. AM

Geliat pemberantaasan korupsi nampak semakin nyata dan mulai masuk lembaga peradilan yaitu Mahkamah Agung (MA). Untuk mengembangkan penyidikan, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) menggeledah ruang kerja MA.

Penggeledahan ini merupakan yang pertama kali, dan beritanya dipastikan berefek signifikan bagi pemberantasan korupsi di MA.Proses penggeledahan KPK terhadap ruang kerja Ketua MA, berlanjut pada pemanggilan Bagir Manan ke KPK untuk diperiksa. Bagir Manan menolak hadir pada pemanggilan pertama dengan alasan karena alasan pemanggilan tidak jelas.
Pada akhirnya pemeriksaan dilakukan di ruang kerja Ketua MA oleh penyidik KPK. Mengapa pemeriksaan dilakukan di MA, bukan di KPK? Tim Penyidik KPK yang memeriksa memberi alasan, bahwa itu sebagai wujud penghormatan terhadap Bagir Manan sebagai Ketua MA. Bagaimanapun, menurut KPK, Ketua MA merupakan personifikasi lembaga MA.Sebelumnya, banyak reaksi keras dilontarkan berbagai kalangan atas ketidakhadiran Ketua MA. Tindakan itu, dapat ditafsirkan sebagai bentuk perlawanan korps hakim terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya di lingkungan pengadilan. Seharusnya, Bagir Manan menggunakan momentum ini untuk memperbaiki citra dan kinerja MA, yang selama ini terlanjur dicap sebagai lembaga yang terindikasi korup dan dianggap gagal dalam memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Peristiwa yang melibatkan Bagir Manan sebagai Ketua MA, perlu dianalisa secara mendalam khususnya terkait dengan norma-norma hukum dan etika yang berlaku. Lebih luas pertanyaan yang dapat diajukan adalah, Bagaimana proses dan mekanisme pemeriksaan terhadap seorang pejabat negara apabila tersangkut tindak pidana, khususnya tindak pidana korupsi? Pemeriksaan Pejabat NegaraSebelum mengurai tentang proses pemeriksaan pejabat negara, penting untuk mengetahui apa dan siapa pejabat negara? Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menentukan, bahwa Pejabat Negara adalah pimpinan dan anggota lembaga tertinggi/tinggi negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh Undang-undang.
Dalam definisi yang berbeda UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme menentukan, bahwa Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.Lebih lanjut PP No. 17 Tahun 2004 tentang Pemberian Gaji/Pensiun/Tunjangan Bulan Ketiga Belas Dalam Tahun Anggaran 2004 Kepada Pegawai Negeri, Pejabat Negara, dan Penerima Pensiun/Tunjangan merinci lembaga Negara yaitu Presiden dan Wakil Presiden; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat; Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat; Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, serta Hakim Konstitusi; Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung; Hakim pada Badan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Hakim yang dipekerjakan untuk tugas peradilan (yustisial); Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim Pengadilan Pajak; Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan; Ketua dan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi; Menteri, dan Jabatan yang setingkat Menteri; Kepala Perwakilan Republik Indonesia yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh;Gubernur dan Wakil Gubernur; dan Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota.Setiap proses hukum yang melibatkan pejabat negara, selalu ada tarik menarik, yang tidak jarang berakhir dengan ketidakjelasan status sang pejabat. Ada resistensi dari berbagai kelompok, yang berimplikasi pada tawar menawar diantara elit yang sedang berkuasa. Hal itu terlihat dari berbagai proses hukum yang melibatkan pejabat negara di masa lalu. Apa yang membedakan antara pejabat negara dengan bukan pejabat negara? Di depan hukum prinsipnya tidak ada perbedaan antara keduanya.
Hampir semua negara mengakui adanya asas persamaan didepan hukum atau equality before the law, seperti asas hukum rule of law yang dipakai dalam negara Anglo Saxon bahwa rule of law melingkupi supremacy of law, equality before the law, constitution based on human rights. Secara eksplisit UUD 1945 juga menganut prinsip tersebut, sebagaimana tertuang dalam pasal 27, bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.Meskipun konstitusi telah menjamin adanya kesamaan di depan hukum, khusus pemeriksaan terhadap pejabat negara ada beberapa prosedur atau persyaratan yang harus dipenuhi. Seperti berlaku pada pejabat negara dilingkungan legislatif, sebagaimana diatur dalam pasal 106 UU No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, bahwa dalam hal Anggota MPR, DPR, dan DPD diduga melakukan perbuatan pidana, pemanggilan, permintaan keterangan, dan penyidikannya harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden. Untuk anggota DPRD Provinsi harus mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, sementara Anggota DPRD Kabupaten/Kota harus mendapat persetujuan tertulis dari gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri. Hanya saja ketentuan ini tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi dan terorisme serta tertangkap tangan.Sementara itu, bagi Kepala Pemerintah Daerah proses penyidikan dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan tertulis dari Presiden, kecuali tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; dan dituduh telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati. Pengecualian diatas, tidak termasuk dalam perkara tindak pidana korupsi sebagaimana berlaku bagi anggota legislatif. Sehingga, untuk melakukan pemeriksaan prosedurnya harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.Hal yang sama juga diberlakukan bagi Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Menurut pasal 15 UU No. 55 Tahun 1973 tentang BPK menentukan, seorang anggota BPK tidak dapat dikenakan tindakan kepolisian guna pemeriksaan suatu perkara kecuali atas perintah Jaksa Agung setelah terlebih dahulu diperoleh persetujuan Presiden.
Tidak demikian halnya dengan pejabat dilingkungan Mahkamah Agung. UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA yang diperbaharui dengan UU No. 5 Tahun 2004, tidak memberi ketentuan perlunya izin presiden di dalam proses pemeriksaan suatu perkara yang melibatkan pejabat di lingkungan MA. UU ini lebih banyak menguraikan ketentuan mengenai pemberhentian Pejabat dan Hakim Anggota Mahkamah Agung oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung baik pemberhentian dengan hormat maupun pemberhentian dengan tidak hormat. Menurut Pasal 12 ayat (1) UU No. 5 Tahun 2004, salah satu alasan pemberhentian dengan tidak hormat adalah karena dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Namun demikian UU MA tidak mengatur mengenai proses pemeriksaan terhadap Pajabat dan Hakim Anggota Mahkamah Agung yang melakukan tindak pidana. Sementara dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pindana Korupsi disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. Dengan demikian, aparat penegak hukum tidak mengalami hambatan prosedural, jika ada pejabat di lingkungan MA terlibat dalam tindak pidana. Mekanisme PemeriksaanBagir Manan tidak menghadiri panggilan pemeriksaan KPK. Akhirnya Tim Penyidik KPK melakukan pemeriksaan terhadap Bagir Manan di ruang kerja Bagir Manan (Ketua MA). Terhadap proses pemeriksaan Bagir Manan (Ketua MA) oleh KPK, terdapat tiga hal yang dapat menjadi catatan.Pertama, Secara prosedural pemeriksaan model ini tidak masalah. Menurut UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pemeriksaan terhadap hakim harus mendapatkan izin Ketua Pengadilan Negeri. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa jika seorang tersangka atau saksi yang dipanggil memberi alasan yang patut dan wajar bahwa ia tidak dapat datang kepada penyidik yang melakukan pemeriksaan, penyidik itu datang ke tempat kediamannya. Sementara UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, tidak memberi ketentuan mengenai proses pemeriksaan terhadap Pejabat dan Hakim Anggota Mahkamah Agung yang terlibat dalam suatu perkara tindak pidana. Sedangkan menurut UU No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK memiliki wewenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Dengan demikian, pemeriksaan terhadap Bagir Manan sudah dilakukan sesuai dengan prosedur yang ada dan dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan.
Kedua, Secara etik dan demi penghormatan atas hukum, pemeriksaan terhadap Bagir Manan yang dilakukan di ruang kerja Ketua MA patur dipertanyakan. Dalam kerangka prinsip persamaan di depan hukum, sepatutnya tidak perlu ada pembedaan terhadap siapapun termasuk dalam proses pemeriksaan Bagir Manan. Pemeriksaan terhadap Bagir Manan merupakan konsekuensi dari kurang terbukanya akses informasi dari Bagir Manan (Ketua MA) kepada KPK khususnya dalam penanganan perkara Probo Soetedjo. Demi penegakan hukum, kan lebih bijaksana apabila Bagir Manan memenuhi panggilan pemeriksaan dari KPK dan memberikan informasi yang seluas-luasnya. Hal tersebut secara khusus dapat untuk memperbaiki citra MA yang sudah semakin terpuruk dan secara umum untuk memperkuat proses penegakan hukum atas kasus-kasus tindak pidana korupsi.
Ketiga, Ketidakhadiran Bagir Manan ke KPK memenuhi panggilan pemeriksaan dengan alasan Surat Panggilan tidak jelas menunjukkan gengsi kelembagaan. Apabila Bagir Manan memenuhi panggilan KPK, dianggap akan menurunkan kewibawaan MA. Hal ini juga mendapatkan dukungan dari IKAHI. Maka pilihannya adalah tidak hadir atau diperiksa ditempat ruang kerja MA. Seharusnya, setiap lembaga negara harus saling menghargai dan memahami kedudukan dan kewenangan lembaga negara yang lain, sehingga keberadaanya saling mengisi dan memberi manfaat kepada masyarakat secara luas. Apapun hasil dari pemeriksaan tim penyidik KPK, akhirnya Bagir Manan sebagai Ketua MA sudah diperiksa.
Selanjutnya, apa yang telah diperoleh tim penyidik masyarakat perlu tahu. Yang paling penting adalah tindak lanjut dari proses pemeriksaan itu, sehingga ada kejelasan tentang praktek mafia peradilan di tubuh MA, dengan bukti adanya tersangka yang diseret ke Pengadilan. Lebih jauh dari itu, tidak ada hambatan apapun secara prosedural untuk memeriksa pejabat negara yang terkait dengan tindak pidana korupsi, sehingga KPK dengan kewenangannya yang powerfull dapat berperan secara maksimal untuk menegakkan hukum dan berupaya secara maksimal mengembalikan uang rakyat. Tegakkan Hukum Kembalikan Uang Rakyat!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar