Pendidikan merupakan Pilar utama dalam mewujudkan bangsa yang berwibawa dan beradab. Pendidikan adalah wadah untuk melahirkan generasi yang cerdas, intelektual dan mempunyai sumberdaya yang berkualitas. Barulah kemudian dapat membawa bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri dan mampu berkompetisi di tengah arus globalisasi. Sejalan dengan hal tersebut tentunya harus didukung oleh sistem pendidikan dan peran pemerintah yang membuka akses pendidikan seluas-luasnya bagi anak bangsa. Hal ini selaras dengan tujuan nasional mencerdaskan kehidupan bangsa.
Wajah universitas di Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami banyak perubahan seiring dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara. Atas dasar tersebut pemerintah mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mendelegasikan pengaturan tentang Badan Hukum Pendidikan disusul dengan disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 tahun 2009).
Sejak awal UU badan Hukum Pendidikan sudah menuai berbagai kontraversi dari berbagai kalangan, namun Pemerintah berdalih bahwa Undang-undang Badan hukum Pendidikan tidak sama dengan Badan Hukum Hukum Milik (BHMN) akan tetapi merupakan alat untuk menahan laju BHMN, sehingga lahirlah jargon politik pihak-pihak terkait pengesahan UU BHP “Baca Dulu UU-nya baru protes”. Sebelumnya karena sistem birokrasi yang rumit BHMN dipandang sebagai solusi namun kemudian disadari BHMN tidak memiliki payung hukum yang kuat karena itu perlu diintegrasikan dalam dalam payung Hukum berupa UU, hal ini membangkitkan lagi semangat legislatife untuk kembali menggodok RUU Badan Hukum Pendidikan dan tidak salah ketika UU Badan Hukum Pendidikan dinilai sebagai upaya melegitimasi BHMN.
Secara filosofis, pendidikan sejatinya berada pada ranah pelayanan Publik artinya disini pemerintah berkewajiban untuk bertanggungjawab atas pemenuhan hak-hak pendidikan karena pemerintah pada hakikatnya merupakan pelayan dari masyarakat. Namun UU BHP dinilai tidak sesuai dengan jiwa pancasila karena ber-rohkan bisnis dan sarat dengan nuansa komersialisasi pendidikan. UU BHP merupakan upaya Pemerintah untuk mulai melepaskan tanggungjawabnya terhadap aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam hal ini pendidikan.
Pembahasaan Pemerintah bersama Badan Hukum Pendidikan menanggung paling sedikit ½ biaya operasional dan membatasi bahwa bahwa peserta didik menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan maksimal 1/3 dari biaya operasional. tidak lebih sebagai akal-akalan untuk menutupi kebobrokan UU BHP. Hal ini bukannya tanpa dasar tapi berkaca dari pengalaman alokasi 20 % anggaran pendidikan. Belum lagi pertanyaan siapa yang bertanggungjawab menanggung 1/6 dari biaya operasional.
Pada dasarnya perguruan tinggi harus lah berlandaskan pendidikan, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat. Jadi kesalahan fatal ketika perguruan tinggi tidak lagi berlandaskan tridarma peruruan tinggi akan tetapi memakai prinsip pasar. Karena dalam prinsip pasar siapa yang memiliki modal maka dialah yang menang, Kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak lagi diukur dengan kemampuan intelektual tetapi ditentukan oleh kemampuan modal. Dalam hal ini yang menjadi korban adalah mayarakat miskin dimana hak-haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak semakin tereliminir serta akan melebarkan jarak antara masyarakat ekonomi lemah dengan masyakakat yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Contoh dalam hal bersaing memasuki perguruan tinggi, kalau dalam sistem PTN maka semua orang tanpa membedakan strata ekonomi dapat bersaing secara sehat, intelektuallah yang menjadi penentu namun ketika menjadi BHP maka pihak penyelenggara akan mengupayakan mencari sumber pendanaan lain salah satunya melalui perekrutan mahasiswa baru dimana jalur regular semakin dipersempit dan dibuka jalur-jalur khusus yang kemudian modal menjadi penentu.
Disamping itu penerapan BHP diyakini juga akan berimbas kepada biaya kuliah, karena ketika BHP tidak mampu mencari sumber pendanaan lain maka cara pintas untuk mengatasinya adalah dengan menguras peserta didik. Meskipun dalam UU BHP dibatasi peserta didik hanya dibebankan maksimal 1/3 biaya operasional namun tidak ada standar biaya operasional yang jelas, yang pasti biaya operasional hari ini tidak akan sama denagn biaya operasional kedepan. Kembali lagi yang ditumbalkan disini adalah masyarakat ekonomi lemah.
DPR bukannya tidak sadar dan tidak mendengar penolakan-penolakan dari berbagai kalangan karena dari awal ketika masih berbentuk RUU, BHP sudah sarat dengan kontraversi. Perdebatan panjang yang tidak selesai bahkan membuat pembahasan di DPR sampai diajukan 35 draft dan baru pada draf ke 36 disetujui DPR (Kompas, Kamis 26 Februari 2009) dengan pasal-pasal yang serba kontradiktif dan memakai terninologi pasar. Namun DPR memilih untuk tutup telinga akan suara-suara sumbang mengenai RUU BHP alhasil RUU BHP disetujui pada 17 Desember 2008. Ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tujuan rakyat mendudukan wakilnya di DPR. DPR adalah perwakilan rakyat.. Orang-orang yang duduk di DPR seharusnya memperuangkan aspirasi rakyat bukan memperjuangkan kepentingan pribadi, kepentingan sekelompok orang, kepentingan politik atau yang lebih menyedihkan lagi kepentingan memperoleh lapangan kerja dengan fasilitas serba lebih. Jika aspirasi rakyat “menolak keberadaan RUU BHP, kenapa wakilnya malah mengesahkan RUU BHP?"
Siapa yang salah dalam hal ini apakah DPR sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat atau orang-orang yang bercokol di DPR tapi tidak memperjuangkan Rakyat. Untuk itu Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan Fakultas Hukum Universitas Andalas menghimbau masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sumatra Barat pada khususnya untuk tidak memilih Caleg-caleg yang sebelumnya pernah duduk di DPR yang mengesahkan UU Badan Hukum Pendidikan, marilah kita memilih calon legislatif yang mempunyai visi dan misi dalam pemenuhan hak-hak pendidikan yang berkeadilan sosial dan pro terhadap masyarakat Miskin.
Wajah universitas di Indonesia sejak tahun 1999 telah mengalami banyak perubahan seiring dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi menjadi Badan Hukum Milik Negara. Atas dasar tersebut pemerintah mengeluarkan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mendelegasikan pengaturan tentang Badan Hukum Pendidikan disusul dengan disahkannya UU Badan Hukum Pendidikan (UU No. 9 tahun 2009).
Sejak awal UU badan Hukum Pendidikan sudah menuai berbagai kontraversi dari berbagai kalangan, namun Pemerintah berdalih bahwa Undang-undang Badan hukum Pendidikan tidak sama dengan Badan Hukum Hukum Milik (BHMN) akan tetapi merupakan alat untuk menahan laju BHMN, sehingga lahirlah jargon politik pihak-pihak terkait pengesahan UU BHP “Baca Dulu UU-nya baru protes”. Sebelumnya karena sistem birokrasi yang rumit BHMN dipandang sebagai solusi namun kemudian disadari BHMN tidak memiliki payung hukum yang kuat karena itu perlu diintegrasikan dalam dalam payung Hukum berupa UU, hal ini membangkitkan lagi semangat legislatife untuk kembali menggodok RUU Badan Hukum Pendidikan dan tidak salah ketika UU Badan Hukum Pendidikan dinilai sebagai upaya melegitimasi BHMN.
Secara filosofis, pendidikan sejatinya berada pada ranah pelayanan Publik artinya disini pemerintah berkewajiban untuk bertanggungjawab atas pemenuhan hak-hak pendidikan karena pemerintah pada hakikatnya merupakan pelayan dari masyarakat. Namun UU BHP dinilai tidak sesuai dengan jiwa pancasila karena ber-rohkan bisnis dan sarat dengan nuansa komersialisasi pendidikan. UU BHP merupakan upaya Pemerintah untuk mulai melepaskan tanggungjawabnya terhadap aspek yang menyangkut hajat hidup orang banyak dalam hal ini pendidikan.
Pembahasaan Pemerintah bersama Badan Hukum Pendidikan menanggung paling sedikit ½ biaya operasional dan membatasi bahwa bahwa peserta didik menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan maksimal 1/3 dari biaya operasional. tidak lebih sebagai akal-akalan untuk menutupi kebobrokan UU BHP. Hal ini bukannya tanpa dasar tapi berkaca dari pengalaman alokasi 20 % anggaran pendidikan. Belum lagi pertanyaan siapa yang bertanggungjawab menanggung 1/6 dari biaya operasional.
Pada dasarnya perguruan tinggi harus lah berlandaskan pendidikan, penelitian serta pengabdian kepada masyarakat. Jadi kesalahan fatal ketika perguruan tinggi tidak lagi berlandaskan tridarma peruruan tinggi akan tetapi memakai prinsip pasar. Karena dalam prinsip pasar siapa yang memiliki modal maka dialah yang menang, Kesempatan untuk menikmati pendidikan tidak lagi diukur dengan kemampuan intelektual tetapi ditentukan oleh kemampuan modal. Dalam hal ini yang menjadi korban adalah mayarakat miskin dimana hak-haknya untuk memperoleh pendidikan yang layak semakin tereliminir serta akan melebarkan jarak antara masyarakat ekonomi lemah dengan masyakakat yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi. Contoh dalam hal bersaing memasuki perguruan tinggi, kalau dalam sistem PTN maka semua orang tanpa membedakan strata ekonomi dapat bersaing secara sehat, intelektuallah yang menjadi penentu namun ketika menjadi BHP maka pihak penyelenggara akan mengupayakan mencari sumber pendanaan lain salah satunya melalui perekrutan mahasiswa baru dimana jalur regular semakin dipersempit dan dibuka jalur-jalur khusus yang kemudian modal menjadi penentu.
Disamping itu penerapan BHP diyakini juga akan berimbas kepada biaya kuliah, karena ketika BHP tidak mampu mencari sumber pendanaan lain maka cara pintas untuk mengatasinya adalah dengan menguras peserta didik. Meskipun dalam UU BHP dibatasi peserta didik hanya dibebankan maksimal 1/3 biaya operasional namun tidak ada standar biaya operasional yang jelas, yang pasti biaya operasional hari ini tidak akan sama denagn biaya operasional kedepan. Kembali lagi yang ditumbalkan disini adalah masyarakat ekonomi lemah.
DPR bukannya tidak sadar dan tidak mendengar penolakan-penolakan dari berbagai kalangan karena dari awal ketika masih berbentuk RUU, BHP sudah sarat dengan kontraversi. Perdebatan panjang yang tidak selesai bahkan membuat pembahasan di DPR sampai diajukan 35 draft dan baru pada draf ke 36 disetujui DPR (Kompas, Kamis 26 Februari 2009) dengan pasal-pasal yang serba kontradiktif dan memakai terninologi pasar. Namun DPR memilih untuk tutup telinga akan suara-suara sumbang mengenai RUU BHP alhasil RUU BHP disetujui pada 17 Desember 2008. Ini tentunya sangat bertolak belakang dengan tujuan rakyat mendudukan wakilnya di DPR. DPR adalah perwakilan rakyat.. Orang-orang yang duduk di DPR seharusnya memperuangkan aspirasi rakyat bukan memperjuangkan kepentingan pribadi, kepentingan sekelompok orang, kepentingan politik atau yang lebih menyedihkan lagi kepentingan memperoleh lapangan kerja dengan fasilitas serba lebih. Jika aspirasi rakyat “menolak keberadaan RUU BHP, kenapa wakilnya malah mengesahkan RUU BHP?"
Siapa yang salah dalam hal ini apakah DPR sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat atau orang-orang yang bercokol di DPR tapi tidak memperjuangkan Rakyat. Untuk itu Lembaga Advokasi Mahasiswa dan Pengkajian Kemasyarakatan Fakultas Hukum Universitas Andalas menghimbau masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sumatra Barat pada khususnya untuk tidak memilih Caleg-caleg yang sebelumnya pernah duduk di DPR yang mengesahkan UU Badan Hukum Pendidikan, marilah kita memilih calon legislatif yang mempunyai visi dan misi dalam pemenuhan hak-hak pendidikan yang berkeadilan sosial dan pro terhadap masyarakat Miskin.
Tema Kegiatan
“Membangun pergerakan Mahasiswa yang Sinergis untuk Menggugat Komersialisasi Pendidikan”
Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal : Sabtu, 21 Maret 2009
Waktu : Pk. 09.00-11.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang Fakultas Hukum program Reguler Mandiri UNAND
Jl. Pancasila No.10 Padang
Kegiatan
Pendeklarasian Sikap LAM & PK terkahap UU BHP dalam kaitannya dengan PEMILU Legislatif
Peserta
1) Anggota LAM & PK
2) Mahasiswa
3) NGO
Padang, 17 Maret 2009
Hormat Kami’
Ketua LAM & PK FHUA
Era Purnama Sari
“Membangun pergerakan Mahasiswa yang Sinergis untuk Menggugat Komersialisasi Pendidikan”
Waktu dan Tempat
Hari/Tanggal : Sabtu, 21 Maret 2009
Waktu : Pk. 09.00-11.00 WIB
Tempat : Ruang Sidang Fakultas Hukum program Reguler Mandiri UNAND
Jl. Pancasila No.10 Padang
Kegiatan
Pendeklarasian Sikap LAM & PK terkahap UU BHP dalam kaitannya dengan PEMILU Legislatif
Peserta
1) Anggota LAM & PK
2) Mahasiswa
3) NGO
Padang, 17 Maret 2009
Hormat Kami’
Ketua LAM & PK FHUA
Era Purnama Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar