Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE),
FIS, Universtas Negeri Padang
Dalam mengeritisi Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang disahkan oleh DPR 17/12/08, izinkan saya untuk tidak langsung memakai “kacamata kuda”, dalam arti digiring untuk masuk pada pembahasan fasal demi fasal yang ada. Namun jauh lebih penting ialah suasana batin yang mengitari lahirnya UU BHP tersebut. Untuk itu ada beberapa catatan kesimpulan umum saya, yang nanti dapat dikonfirmasi ke dalam diskusi yang lebih rinci menganai fasal-fasalnya.
• Pertama, UU BHP No. 9 2009, seperti halnya dengan setiap kebijakan pastilah ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Meskipun di situ ada “goodwill” untuk memperbaiki kesembrautan dunia pendidikan bangsa ini, tetapi ketika ia diwujudkan ke dalam produk hukum sebagai kebijakan (political will), maka di situ terdapat pertarungan kepentingan, pertarungan antara kepentingan pasar (cost-benefit) dari segelintir yang mendapat akses ke situ di satu pihak dan kepentingan hajat hidup orang banyak (mayoritas) anak bangsa di lain pihak. Buntutnya ialah terjadi kontroversi pro-kontra antara mereka mendapat akses keuntungan jangka pendek bagi diri dan lembaganya dan yang tidak.
Ini adalah fakta dan bukan asumsi. Bahwa produk hukum kita, kalau bukan semua, sebagian bermasalah, penuh “patgulipat”, kental aroma bisnisnya. Produk hukum bernama UU BHP juga demikian, ia digarap oleh lembaga legislatif yang terhormat, parlemen “tukang bolos”, korup, dan tidak berhukum pada akal sehat dan kurang peka dengan keadaan (Satjipto Rahardjo, Kompas, 19/12/08). Lantas bagaimana mempercayai produk sebuah perundang-undangan yang dikerjakan oleh orang-orang yang secara moral kehilangan kepercayaan (truth) di mata masyarakat.
• Kedua, produk hukum UU BHP dibuat dengan asumsi bahwa Indonesia berada dalam kondisi jaman “normal”, padahal negeri ini sedang sakit, terutama elit politiknya. Karena itu rendah “sense of crisis”-nya, maka kurang arif menangkap kondisi rill mayoritas masyarakat bangsa yang sedang dilanda kesusahan. Dengan kata lain, BHP itu adalah produk hukum yang “keseleo”, karena tanpa konsultasi publik yang benar, maka gagasan yang tadinya bermaksud baik untuk menyebuhkan, bergeser kepada political will, yang diperalat untuk melayani kepentingan segelintir kelompok pro-pasar, sehingga ketika ia diwujudkan ke dalam kebijakan membuat masalah pendidikan yang sudah runyam makin runyam.
Untuk melihat betapa runyamnya pendidikan kita, tengoklah di manakah letaknya filosofi pendidikan dalam UU BHP itu? Secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak bisa dijual, kecuali jasa pendidikan. Pendidikan haruslah mengacu kepada ”blue-print” Indonesia Merdeka (Pembukaan UUD 1945), yakni untuk mencerdaskan bangsa dan bukan untuk dipergalaskan dan mengubah ”Departemen Pendidikan” menjadi ”Departemen Perdagangan Pendidikan”. Saya terkejut ketika Mendiknas sewaktu berkunjung ke Padang belum lama ini mengatakan, pendidikan Sumatera Barat cukup maju dan daerah ini dapat ”menjual pendidikan ....”
• Ketiga, erat kaitannya dengan butir di atas, produk hukum UU BHP dianalogikan dengan lembaga corporate yang berorientasi bisnis. Keecenderungan ini terlihat dari kosa kata yang digunakan dalam dunia pendidikan kita dewasa ini. Istilah-istilah university corporate; bahwa guru boleh unjuk rasa seperti asosiasi buruh fabrik atau mari masuk sebentar ke UU BHP yang menggunakan istilah “pailit”, dan konsekuensi dari perjanjian kerja yang dibuatnya.
Jadi, meskipun di situ ditekankan prinsip “nirlaba” dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi di lain pihak memungkinkannya untuk melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham) yang dikenai pajak (Pasal 38 ayat (3); asal 42 ayat 1. Artinya, sebagaimana layaknya perusahaan, institusi pendidikan berbentuk BHP pun dapat bermain di bursa saham.
• Keempat, produk hukum itu tidak dibuat untuk memecahkan substansi masalah pendidikan secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian, terutama berkenaan dengan tata kelolola kelembagaan dan pengaggaran pendidikan. Faktanya pendidikan nasional kita kehilangan filosofinya dan karena itu tidak jelas tujuannya. Ajaran tokoh pendidikan ditinggalkan dan kita makin berkiblkat ke Barat. Tidak heran jika kita makin meninggalkan akar historis dan budaya sendiri dan pendidikan kita makin “curang”. Entah itu pesekongkolan ijazah palsu, manipulasi berjemaaah terhadap “nilai” siswa dan dagang buku di sekolah (Fakta-fakta tentang ini diungkapkan dalam Kompas 21 Me1 2007).
UU BHP tidak berbicara mengenai semua ini dan karena itu ia tidak menjawab substanbsi masalah pendidikan. Namun itulah soalnya. Karena tidak berpijak pada budaya sendiri dan pemikiran pendidikan bangsa, melainkan kepada dunia global di sana, maka kental aroma pasarnya, pertarungan kepentingan ”profit”. Lihat saja gaya promosi penerimaaan mahasiswa baru masuk PT BHMN lewat beberapa jalur sampai ke daerah-daerah dan pemesanan kursi jalur khusus yang sangat mahal, sehingga banyak yang mengakui PT BHMN sudah ”kebablasan” dan semena-mena. Jika benar UU BHP itu kelanjutan (dan sekaligus perubahan atau pebaikan) dari PT BHMN, khususnya untuk perguruan tinggi, di situ yang berkuasa tetap organ rejim hukum privat pengelola pendidikan, yakni salah satu dari enam organ BHP (Pasal 15).
• Kelima, produk UU BHP lebih menonjolkan fungsinya sebagai “pagar” yang mengungkung karena terlalu merecoki urusan rumah tangga pendidikan, sehingga dengan sendirinya menghilangkan kreativitas dan otonomi pendidikan yang sesungguhnya sudah melekat pada lembaga pendidikan itu sendiri, setidaknya di lembaga perguruan tinggi. Jika sudah “profit” menjadi Tuan, maka yang akan tejadi adalah persaingan pasar; siapa kuta siapa di atas. Tak syak lagi bahwa kecenderungan ini sedang berlangsung di tengah-tengah kehidupan kampus kita. Maka cepat atau lambat produk hukum ini justeru menimbulkan msalah baru keitmbang memajukan mutu pendidikan.
Akhirnya, sekali lagi, UU BHP sebagai anak kandung dari BHMN memiliki tujuan yang “mulia”. Mungkin di situ ada sedikit good will, namun ketika ia dijabarkan pada kebijakan(poltical will) dari rezim hukum privat (perdata), privatisasi, kepentingan hukum publik makin direduksi ke dalam persaingan mengejar keuntungan jangka pendek. Sesungguhnya inilah yang telah terjadi belakangan ini dan yang akan membuat makin merebaknya komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung menjadi ladang bisnis yang menggiurkan BAGI PENGELOLANYA di masa depan.
Banyak yang percaya dan saya setuju bahwa pendidikan yang bermutu memerlukan biaya yang mahal, tetapi bahwa dengan UU BHP pendidikan di negeri ini akan maju, tidak dapat dibuktikan. Sayaa juga tidak termasuk warga kampus yang mendambakan serbag “gratis” atau pendidikan murah, tetapi prinsip keadilan di depan hukum. Ini makin terasa bagi kelompok mahasiswa miskin dan lembaga pendidikan sussta bumumnya. Jadi, selagi mind set dari pengelola perguruan tinggi tidka berubah, pengejar jabatan, lalu “profit” maka virokrasi kampus tak ubahnya seperti urusan birokrasi di luarnya.
Celakanya, semua jawaban pihak resmi sejauh ini cenderung konservatif, klasik dan klise: “sudah sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan”, “biasalah ini kan zaman demokrasi”, “eforia reformasi”, tetapi akhirnya yang terjadi ialah meremehkan suara-suara penolakan terhadap priduk hukum ini alias “anjing menggonggong kafilah lalu”. Seandainya pihak resmi, termasuk pengurus universitas, mau mendengar gugatan publik terhadap produk hukum yang satu ini, maka keseleo yang terdapat di dalamnya mestilah didengar sebagai keluhan dari hati nurani demi memikirkan hasil jangka panjangnya. Kepekaan akan suasana batin ini perlu ditanggapi serius. Lebih-lebih di kala negeri ini masih belum bangkit-bangkit juga dari keterpurukannya, termasuk dunia pendidikannya.
Beberapa Pertanyaan.
1. Konsideran “Mengingat...” dalam UU BHP juga mengacu kepada UUD 1945 yakni ke Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 – tentang wewenang kekuasaan – dan bukannya mengacu kepada pasal tentang pendidikan (Pasal 31. 31)? Ini jelas merupakan penghindaran (avoidance) dari jebakan untuk mengalihkan beban pendidikan dari negara kepada masyarakat.
2. Bagaimana pemerintah/DPR yang terhormat menafsirkan fakta bahwa RUU BHP sudah dibahas puluhan kali dan toh masih mendapat kritik dari berbagai kalangan masyarakat?
3. Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Terdapat kejanggalan dalam ayat tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan BHPP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung oleh peserta didik, maka siapa yang menanggung seperenam (1/6) sisanya?
4. Akhirnya Usul: untuk menghentikan debat kontroversial UU BHP ini bagaimana kalau direferendumkan saja, tanpa perlu di-judicial review?
• Pertama, UU BHP No. 9 2009, seperti halnya dengan setiap kebijakan pastilah ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Meskipun di situ ada “goodwill” untuk memperbaiki kesembrautan dunia pendidikan bangsa ini, tetapi ketika ia diwujudkan ke dalam produk hukum sebagai kebijakan (political will), maka di situ terdapat pertarungan kepentingan, pertarungan antara kepentingan pasar (cost-benefit) dari segelintir yang mendapat akses ke situ di satu pihak dan kepentingan hajat hidup orang banyak (mayoritas) anak bangsa di lain pihak. Buntutnya ialah terjadi kontroversi pro-kontra antara mereka mendapat akses keuntungan jangka pendek bagi diri dan lembaganya dan yang tidak.
Ini adalah fakta dan bukan asumsi. Bahwa produk hukum kita, kalau bukan semua, sebagian bermasalah, penuh “patgulipat”, kental aroma bisnisnya. Produk hukum bernama UU BHP juga demikian, ia digarap oleh lembaga legislatif yang terhormat, parlemen “tukang bolos”, korup, dan tidak berhukum pada akal sehat dan kurang peka dengan keadaan (Satjipto Rahardjo, Kompas, 19/12/08). Lantas bagaimana mempercayai produk sebuah perundang-undangan yang dikerjakan oleh orang-orang yang secara moral kehilangan kepercayaan (truth) di mata masyarakat.
• Kedua, produk hukum UU BHP dibuat dengan asumsi bahwa Indonesia berada dalam kondisi jaman “normal”, padahal negeri ini sedang sakit, terutama elit politiknya. Karena itu rendah “sense of crisis”-nya, maka kurang arif menangkap kondisi rill mayoritas masyarakat bangsa yang sedang dilanda kesusahan. Dengan kata lain, BHP itu adalah produk hukum yang “keseleo”, karena tanpa konsultasi publik yang benar, maka gagasan yang tadinya bermaksud baik untuk menyebuhkan, bergeser kepada political will, yang diperalat untuk melayani kepentingan segelintir kelompok pro-pasar, sehingga ketika ia diwujudkan ke dalam kebijakan membuat masalah pendidikan yang sudah runyam makin runyam.
Untuk melihat betapa runyamnya pendidikan kita, tengoklah di manakah letaknya filosofi pendidikan dalam UU BHP itu? Secara falsafah dunia pendidikan harus terpisah dari bisnis. Pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak bisa dijual, kecuali jasa pendidikan. Pendidikan haruslah mengacu kepada ”blue-print” Indonesia Merdeka (Pembukaan UUD 1945), yakni untuk mencerdaskan bangsa dan bukan untuk dipergalaskan dan mengubah ”Departemen Pendidikan” menjadi ”Departemen Perdagangan Pendidikan”. Saya terkejut ketika Mendiknas sewaktu berkunjung ke Padang belum lama ini mengatakan, pendidikan Sumatera Barat cukup maju dan daerah ini dapat ”menjual pendidikan ....”
• Ketiga, erat kaitannya dengan butir di atas, produk hukum UU BHP dianalogikan dengan lembaga corporate yang berorientasi bisnis. Keecenderungan ini terlihat dari kosa kata yang digunakan dalam dunia pendidikan kita dewasa ini. Istilah-istilah university corporate; bahwa guru boleh unjuk rasa seperti asosiasi buruh fabrik atau mari masuk sebentar ke UU BHP yang menggunakan istilah “pailit”, dan konsekuensi dari perjanjian kerja yang dibuatnya.
Jadi, meskipun di situ ditekankan prinsip “nirlaba” dalam penyelenggaraan pendidikan, tetapi di lain pihak memungkinkannya untuk melakukan investasi dalam bentuk portofolio (saham) yang dikenai pajak (Pasal 38 ayat (3); asal 42 ayat 1. Artinya, sebagaimana layaknya perusahaan, institusi pendidikan berbentuk BHP pun dapat bermain di bursa saham.
• Keempat, produk hukum itu tidak dibuat untuk memecahkan substansi masalah pendidikan secara keseluruhan, melainkan hanya sebagian, terutama berkenaan dengan tata kelolola kelembagaan dan pengaggaran pendidikan. Faktanya pendidikan nasional kita kehilangan filosofinya dan karena itu tidak jelas tujuannya. Ajaran tokoh pendidikan ditinggalkan dan kita makin berkiblkat ke Barat. Tidak heran jika kita makin meninggalkan akar historis dan budaya sendiri dan pendidikan kita makin “curang”. Entah itu pesekongkolan ijazah palsu, manipulasi berjemaaah terhadap “nilai” siswa dan dagang buku di sekolah (Fakta-fakta tentang ini diungkapkan dalam Kompas 21 Me1 2007).
UU BHP tidak berbicara mengenai semua ini dan karena itu ia tidak menjawab substanbsi masalah pendidikan. Namun itulah soalnya. Karena tidak berpijak pada budaya sendiri dan pemikiran pendidikan bangsa, melainkan kepada dunia global di sana, maka kental aroma pasarnya, pertarungan kepentingan ”profit”. Lihat saja gaya promosi penerimaaan mahasiswa baru masuk PT BHMN lewat beberapa jalur sampai ke daerah-daerah dan pemesanan kursi jalur khusus yang sangat mahal, sehingga banyak yang mengakui PT BHMN sudah ”kebablasan” dan semena-mena. Jika benar UU BHP itu kelanjutan (dan sekaligus perubahan atau pebaikan) dari PT BHMN, khususnya untuk perguruan tinggi, di situ yang berkuasa tetap organ rejim hukum privat pengelola pendidikan, yakni salah satu dari enam organ BHP (Pasal 15).
• Kelima, produk UU BHP lebih menonjolkan fungsinya sebagai “pagar” yang mengungkung karena terlalu merecoki urusan rumah tangga pendidikan, sehingga dengan sendirinya menghilangkan kreativitas dan otonomi pendidikan yang sesungguhnya sudah melekat pada lembaga pendidikan itu sendiri, setidaknya di lembaga perguruan tinggi. Jika sudah “profit” menjadi Tuan, maka yang akan tejadi adalah persaingan pasar; siapa kuta siapa di atas. Tak syak lagi bahwa kecenderungan ini sedang berlangsung di tengah-tengah kehidupan kampus kita. Maka cepat atau lambat produk hukum ini justeru menimbulkan msalah baru keitmbang memajukan mutu pendidikan.
Akhirnya, sekali lagi, UU BHP sebagai anak kandung dari BHMN memiliki tujuan yang “mulia”. Mungkin di situ ada sedikit good will, namun ketika ia dijabarkan pada kebijakan(poltical will) dari rezim hukum privat (perdata), privatisasi, kepentingan hukum publik makin direduksi ke dalam persaingan mengejar keuntungan jangka pendek. Sesungguhnya inilah yang telah terjadi belakangan ini dan yang akan membuat makin merebaknya komersialisasi pelayanan pendidikan. Konsentrasi institusi pendidikan akan terpecah kepada pemikiran dan kegiatan “bisnis,” yang otomatis akan mengubah nuansa akademik secara langsung ataupun tidak langsung menjadi ladang bisnis yang menggiurkan BAGI PENGELOLANYA di masa depan.
Banyak yang percaya dan saya setuju bahwa pendidikan yang bermutu memerlukan biaya yang mahal, tetapi bahwa dengan UU BHP pendidikan di negeri ini akan maju, tidak dapat dibuktikan. Sayaa juga tidak termasuk warga kampus yang mendambakan serbag “gratis” atau pendidikan murah, tetapi prinsip keadilan di depan hukum. Ini makin terasa bagi kelompok mahasiswa miskin dan lembaga pendidikan sussta bumumnya. Jadi, selagi mind set dari pengelola perguruan tinggi tidka berubah, pengejar jabatan, lalu “profit” maka virokrasi kampus tak ubahnya seperti urusan birokrasi di luarnya.
Celakanya, semua jawaban pihak resmi sejauh ini cenderung konservatif, klasik dan klise: “sudah sesuai dengan mekanisme peraturan perundang-undangan”, “biasalah ini kan zaman demokrasi”, “eforia reformasi”, tetapi akhirnya yang terjadi ialah meremehkan suara-suara penolakan terhadap priduk hukum ini alias “anjing menggonggong kafilah lalu”. Seandainya pihak resmi, termasuk pengurus universitas, mau mendengar gugatan publik terhadap produk hukum yang satu ini, maka keseleo yang terdapat di dalamnya mestilah didengar sebagai keluhan dari hati nurani demi memikirkan hasil jangka panjangnya. Kepekaan akan suasana batin ini perlu ditanggapi serius. Lebih-lebih di kala negeri ini masih belum bangkit-bangkit juga dari keterpurukannya, termasuk dunia pendidikannya.
Beberapa Pertanyaan.
1. Konsideran “Mengingat...” dalam UU BHP juga mengacu kepada UUD 1945 yakni ke Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 – tentang wewenang kekuasaan – dan bukannya mengacu kepada pasal tentang pendidikan (Pasal 31. 31)? Ini jelas merupakan penghindaran (avoidance) dari jebakan untuk mengalihkan beban pendidikan dari negara kepada masyarakat.
2. Bagaimana pemerintah/DPR yang terhormat menafsirkan fakta bahwa RUU BHP sudah dibahas puluhan kali dan toh masih mendapat kritik dari berbagai kalangan masyarakat?
3. Pasal 41 ayat 9 mengatakan bahwa biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung seluruh peserta didik dalam pendanaan pendidikan tinggi paling banyak sepertiga dari biaya operasional. Terdapat kejanggalan dalam ayat tersebut. Jika seperdua (1/2) biaya operasional ditanggung oleh Pemerintah dan BHPP dengan sepertiganya (1/3) ditanggung oleh peserta didik, maka siapa yang menanggung seperenam (1/6) sisanya?
4. Akhirnya Usul: untuk menghentikan debat kontroversial UU BHP ini bagaimana kalau direferendumkan saja, tanpa perlu di-judicial review?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar